PRAKTIK PEMBIAYAAN AL MUSYARAKAH (KEMITRAAN) DI BANK SYARIAH BUKOPIN




A.        Pendahuluan
Musyarakah, yang dalam literatur fikih sering disebut dalam bab syirkah adalah salah satu produk fikih mu’amalah yang saat ini banyak dipraktekkan di banyak Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Bagi lembaga keuangan yang berbasis pada profit oriented, akad Syirkah ini bahkan merupakan akad yang dianggap penting karena ia merupakan salah satu akad yang berdasarkan pada prinsip tijari (mencari keuntungan) yang menjadi penopang kelangsungan operasional Lembaga Keuangan Syari’ah.
Salah satu lembaga keuangan syari’ah yang telah menggunakan akad syirkah sebagai salah satu produk jasanya adalah Bank Syari’ah Bukopin dengan nama produk “ pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah)”. Produk ini merupakan suatu produk jasa yang menggunakan prinsip bagi hasil dimana Bank sebagai pihak yang memiliki dana bermitra dengan perseorangan atau badan untuk membiayai suatu usaha bersama.
Secara teoritis, bentuk syirkah yang diakui keabsahannya oleh jumhur ulama adalah syirkah Inan, yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf) dalam suatu modal (maal) secara persentase (syuyu’) dengan sistem keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Oleh karena itu, sudah seharusnya produk pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada pada akad syirkah Inan sebagaimana yang telah dibahas oleh para ulama dalam literature fikih klasik maupun berupa fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN MUI.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini bermaksud meninjau praktek akad pembiayaan iB Bagi hasil (Musyarakah) dalam perspektif hukum fikih.

B.        Konsep al Musyarakah (kemitraan)
1.     Pengertian al Musyarakah
al Musyarakah berasal dari kata syaraka yasyruku syirkah yang diikutkan wazan mufaa’alah yang berfaidah musyarakah (pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih). Syirkah (terkadang disebut Syarikah atau syarkah) sendiri secara bahasa berarti bercampur.[1] Apabila Abu Syuja’ mendefinisikan syirkah sebagai tetapnya hak dengan cara prosentase dalam sesuatu yang satu (ثبوت الحق علي وجه الشيوع في شيئ واحد)[2], maka al musyarakah dapat dipahami sebagai sebuah kontrak atas sesuatu yang dilakukan oleh dua orang (atau pihak) atau lebih dengan cara prosentase.
Banyak definisi al Musyarakah ini yang diungkapkan oleh fuqaha dalam beberapa literature fikih, walaupun diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[3]

2.     Landasan Dalil al Musyarakah
a.     Q.S. al nisa: 12
bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ  
 …tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.( Q.S. al nisa: 12)

b.     Q.S. Shad: 24
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ  
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat..(Q.S. Shad: 24)

c.     H.R. Abu Dawud
قَالَ النَّبِيُّ ص م: " إِنَّ اللَّهَ، يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا "
Nabi SAW Bersabda: Allah SWT Berfirman: Aku adalah yang ketiga dari dua pihak yang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak mengkhiyanati mitranya. Apabila ia mengkhiyanatinya, maka Aku keluar dari (perserikatan) antar keduanya.(H.R. Abu Dawud)
3.     Macam-macam bentuk kemitraan (Syirkah)
Syirkah secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu:[4]
a.     Syirkah Ibahah, yaitu: persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada dibawah kekuasaaan seseorang.
b.     Syirkah amlak,yaitu: persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah amlak terbagi menjadi dua, yakni:
1)         Syirkah milik jabriyah  yang terjadi tanpa keinginan para pihak yang bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris.
2)         Syirkah milik ikhtiyariyah yang terjadi atas keinginan para pihak yang bresangkutan.
c.     Syirkah akad, yaitu: persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad ini terbagi menjadi empat macam, yakni:
1)          Syirkah al Inan yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf) dalam suatu modal (maal) secara persentase (syuyu’) dengan sistem keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Maksud syuyu’ di sini adalah hak tasharruf setiap mitra atas modal tidak ditentukan secara fisik, melainkan berdasarkan persenan. Misalnya, 50% dari total modal.[5]
Secara hukum, syirkah al Inan diakui legalitasnya oleh ulama, sebab disamping berdasarkan dalil naql, desakan kebutuhan (hajah) perdagangan dalam skala besar mustahil tanpa melibatkan banyak investor sebagai pemilik modal. Lebih dari itu, substansi akad syirkah adalah akad wakalah yang dilegalkan. Artinya, setiap syarik (pihak yang bermitra) saling mewakilkan secara gratis pada mitranya dalam meniagakan modalnya, untuk mendapatkan keuntungan bersama.
2)         Syirkah al Abdan yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan (‘amal) suatu proyek dengan sistem keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Syirkah al abdan hanya melibatkan tenaga (amal), tanpa melibatkan harta (maal).[6] Contoh, A adalah seorang arsitektur designer, B adalah ahli konstruksi bangunan, dan C adalah ahli instalasi. Kemudian mereka bertiga bekerja sama untuk mengerjakan sebuah proyek.
Secara hukum, syirkah al abdan ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut Imam Abu Hanifah diperbolehkan secara mutlak, menurut Imam malik diperbolehkan jika pekerjaannya tunggal, dan menurut Syafi’iyah tidak diperbolehkan secara mutlak. Ulama syafi’iyah tidak memperbolehkan syirkah al inan ini karena menurut mereka tidak ada istilah syirkah dalam amal.[7]
3)         Syirkah al Mufawadlah yaitu kontrak kerjasama kemitraan antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha tertentu yang melibatkan pekerjaan (amal) dan modal (maal) dengan sitem profit and loss sharing. Syirkah al Mufawadlah ini merupakan kombinasi dari syirkah al inan dan syirkah al abdan.
Secara legalitas hukum, Syirkah al Mufawadlah diperselisihkan ulama. Menurut imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sah. Sebab dalam Syirkah al Mufawadlah terkandung muatan bai’ dan wakalah, yakni setiap mitra menjual aset modalnya kepada yang lain, dan melimpahkan managemen pengelolaan (nadhar) aset yang berada di bawah tangannya. [8] Sedangkan menurut Syafi’iyah tidak sah, karena dua alasan mendasar.
Pertama, legalitas akad syirkah harus dibangun atas dasar penggabungan (ikhthilath) modal secara persentase (syuyu’), sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan dalam profit. Sebab profit adalah cabang (furu’) dari akar pokok (ushul) berupa modal. Dalam akad syirkah al mufawadlah tidak tejadi penggabungan modal (ushul), sehingga penggabungan profit furu’ tidak sah.
Kedua, membebankan ganti rugi (dlaman) terhadap mitra atas resiko yang diluar tanggung jawabnya.[9]
4)         Syirkah al Wujuh yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang memiliki popularitas atau ketokohan (wajih) yang bisa mendongkrak nilai jual komoditi. Yang dimaksud popularitas di sini adalah pihak yang telah mendapatkan kepercayaan publik (konsumen atau produsen) dalam dunia bisnis karena prestasi, managemen, atau profesionalisme kerja.[10]
Secara hukum, akad Syirkah al Wujuh diperselisihkan ulama. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah diperbolehkan dengan dua argumentasi. Pertama, berdasarkan prinsip awalnya, semua muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan di sini tidak ditemukan dalil yang melarang tersebut. Kedua, faktor hajah yang mendesak, masih memungkinkan untuk melegalkannya melalui pendekatan konsep perwakilan implisit (wakalah dlimni).[11]
5)         Syirkah mudlarabah yaitu suatu kontrak kerjasama yang salah satu pihak (pemilik) berhak mendapatkan bagian keuntungan, karena sebagai pemilik barang (rabbul mal) dan mitra lainnya (dlarib/pengelola) berhak memperoleh bagian atas bagiannya sendiri.

4.     Rukun akad syirkah al Inan
a.     Shighah
Yaitu ijab dan qabul dari seluruh mitra yang menunjukkan makna izin tasharruf terhadap modal syirkah dalam perniagaan (tijarah), baik secara jelas (sharih) atau kinayah. Sebab modal yang bersifat gabungan (musytarak) tidak bisa di-tasharruf-kan tanpa izin pemiliknya.
b.     Aqidain
Yaitu dua pelaku syirkah (syarikain) yang mengadakan kerja sama kemitraan dengan modalnya masing-masing. Aqidain disyaratkan harus memenuhi kriteria sah mengadakan wakalah karena masing-masing syarik (yang berserikat/mitra) berperan sebagai muwakil (wakil atas nama perserikatan).[12]

c.     Ma’qud ‘alaih
Yaitu modal yang di-syirkah-kan. Adapun syarat-syarat ma’qud ‘alaih meliputi:
Ø   Syuyu’
Sebelum syirkah dilangsungkan, disyaratkan kepemilikan setiap mitra terhadap modal harus bersifat persentase (syuyu’).
Ø   Profit sharing
Apabila dalam kegiatan perserikatan tersebut didapatkan keuntungan, maka hasilnya dibagi sesuai syuyu’ yang telah disepakati bersama di muka.
Ø   Loss sharing
Begitu pula apabila dalam kegiatan perserikatan tersebut didapatkan kerugian, maka ditanggung setiap mitra sesuai persentase (syuyu’) modalnya masing-masing.

C.        Masa Berlakunya dan Berakhirnya Kontrak Syirkah
Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat, masing-masing mitra memiliki hak untuk menghentikan kontrak. Selain itu, akad syirkah juga bisa batal jika salah satu pihak meninggal dunia, murtad, atau gila.[13] Adapun masa berakhirnya kontrak syirkah yang juga pada prinsipnya kontrak musyarakah akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, meninggal atau modal yang ditanamkan mengalami kerugian.
Mayoritas ulama kecuali madzhab Maliki berpendapat bahwa setiap mitra berhak menghentikan kontrak kapan saja ia menginginkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya suatu akad asy-syirkah. Menurut para ulama fiqh hal-hal yang dapat membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad asy-syirkah, ada yang bersifat umum, disamping ada juga hal-hal khusus yang menjadi penyebab batal atau berakhirnya masing-masing bentuk perserikatan.
Adapun hal-hal yang membatalkan atau menyebabkan berakhirnya suatu akad perserikatan secara umum adalah:[14]
1.     Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para pakar fiqh, akad perserikatan itu tidak bersifat mengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan.
2.     Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
3.     Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan.
4.     Salah satu pihak murtad (keluar dari agama islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim; karena orang seperti ini dianggap sebagai telah wafat.
Kemudian para ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang dilakukan adalah sebagai beikut:[15]
1.     Syirkah al-amwal, akad perserikatan ini dinyatakan batal apabila semua atau sebagian modal perserikatan hilang, karena obyek perserikatan dalam perikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan itu bubar.
2.     Syirkah al-Mufawadhah, akad perserikatan ini dinyatakan batal apabila modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena al-mufawadhah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja maupun keuntungan dibagi.

D.        Fatwa DSN- MUI Tentang Ketentuan Syirkah
Dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah, Dewan Syari’ah Nasional mengatur mengenai ketentuan dalam pembiayaan Musyarakah.
1.     Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.     Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.     Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.     Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.     Kompeten dalam memberikan akad atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.     Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.     Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.     Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
3.     Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.     Modal
1)         Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2)         Para pihak yang tidak boleh meminjam, memainkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3)         Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan LKS dapat meminta jaminan.
b.     Kerja
1)         Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2)         Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c.     Keuntungan
1)         Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktui alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
2)         Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3)         Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atas prosentase itu diberikan kepadanya.
4)         Sistem pembagian keuntungan harus tertuang jelas dalam akad.
5)         Kerugian Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing.
d.     Biaya opersional dipersengketakan.
1)         Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
2)         Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui BASYARNAS setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

E.        Praktek akad pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin[16]
1.     Definisi
Kerjasama dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan atau karya/keahlian dengan kesepakatan keuntungan dan resiko menjadi tanggungan bersama sesuai kesepakatan.
2.     Akad
Akad yang digunakan adalah musyarakah, yaitu kerjasama antara bank dengan Nasabah untuk mencapurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
3.     Manfaat
a.     Dapat digunakan untuk pembiayaan modal kerja usaha.
b.     Sistem bagi hasil sesuai hasil proyek/usaha
c.     Pembayaran dapat dilakukan sesuai dengan cash flow
d.     Jangka waktu pembiayaan sesuai jadwal penyelesaian proyek
4.     Syarat dan ketentuan
Perorangan dan badan usaha
No.
Jenis Dokumen
Perorangan
Badan Usaha
1
Copy Identitas diri
ü   
-
2
Copy Surat Nikah
ü   
-
3
Copy KK
ü   
-
4
Copy Akta Pendirian Usaha
-
ü   
5
Identitas Pengurus
-
ü   
6
Legalitas Usaha
-
ü   
7
Laporan keuangan 3 bulan terakhir
ü   
ü   
8
Data obyek pembiayaan
ü   
ü   
9
NPWP
ü   
ü   
10
Salinan rekening Koran/tabungan 3 bulan terakhir
ü   
ü   


F.         Praktek akad pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin dalam tinjauan fikih
Dalam menilai kesesuaian praktik pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin berdasarkan hukum fikih, setidaknya harus ditinjau dari tiga hal, yakni: rukun, syarat, dan akad.
Rukun Syirkah yang terdiri dari tiga hal yakni: Shighah, aqidain, dan ma’qudalaih, telah terpenuhi oleh produk iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin ini. Shighah dalam produk ini berupa surat perjanjian tertulis antara pihak bank dengan nasabah penerima pembiayaan. Shighah akad di sini diwujudkan dalam bentuk klausul-klausul perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Aqidain di sini berupa pihak I (Aqid I) yakni bank yang diwakili oleh seorang yang telah diberi wewenang oleh bank untuk melakukan perjanjian, dan pihak II (aqid II) yakni nasabah yang berupa perseorangan maupun badan. Sedangkan Ma’qud ‘alaih yang disyaratkan berupa: Syuyu’ (persentase) kepemilikan setiap mitra terhadap modal untuk menentukan syuyu’ Profit and Loss sharing.
Dilihat dari sisi Akad, iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin ini berdasarkan model syirkah inan yakni: akad kerjasama antara bank dengan Nasabah untuk mencapurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
Apabila dilihat dari sisi rukun dan akad pada iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin ini tidak ditemui ada masalah dan telah sesuai dengan ketentuan dalam syirkah inan. Baik menurut pendapat ulama dalam literatur-literatur fikih maupun fatwa DSN MUI. Begitupun jika dilihat dari syarat-syarat yang diajukan oleh Bank Syariah Bukopin bagi Perseorangan maupun Badan yang akan mengajukan pembiayaan dengan model Musyarakah ini, semua item yang diajukan sesuai dengan ketentuan yang ada pada syirkah inan.

G.      Penutup
Dalam praktek usaha dewasa ini memang banyak ditemui model-model perserikatan yang orientasi semuanya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Para ulama sejak dahulu pun sudah membedakan syirkah dalam beberapa bentuk. Ada syirkah inan, syirkah abdan, syirkah mufawadlah, dan lain sebagainya. Namun demikian, hanya ternyata hanya syirkah inan yang disepakati keabsahannya oleh jumhur ulama. Maka tidak mengherankan apabila kepeutusan fatwa DSN MUI ternyata lebih condong untuk mengikuti model syirkah inan ini. Menurut Imam al Syafi’i pun, model syirkah inan ini adalah model syirkah yang paling adil karena mencerminkan kesamaan hak kewajiban pada semua pihak yang berserikat.
Bank Syariah Bukopin yang telah mengeluarkan produk jasa bernama pembiayaan iB Bagi Hasil (musyarakah) setelah dikaji ternyata sesuai dengan ketentuan akad syirkah inan. Sehingga, produk ini layak untuk dimanfaatkan oleh segenap umat islam dalam pengembangan usaha produktif. Wallahu a’lam bi al shawab.





Daftar Pustaka

al Syarbiny, Syaikh Muhammad. al Iqna’ fi halli al fadz Abi Syuja’. Mesir: al Mathba’ah al Khairiyah al Mishriyah, 1318 H.
al Bugha, dkk.,Dr. Musthafa.  Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i. Beirut: Dar al qalam, 1992.
al Bugha, Dr. Musthafa Raib. al Tadzhib Fi Adillah Matn al Ghayah Wa al Taqrib. Jeddah: al Haramain li al Thiba’ah wa al Nasyr, 1978.
Al Mawardi, al Hawi al Kabir. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt.
al Nawawi, Al Imam Abu Zakariya. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi. Surabaya: al Hidayah, tt.
al Qurthuby, Al Imam Ibn Rusyd. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid. Beirut: Dar al Kutub al ilmiyah, tt.
al Jamal, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al Jamal. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah, Cet.I,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet.2,Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007.
Brosur tentang pembiayaan iB Bagi Hasil yang diterbitkan oleh Bank Syariah Bukopin.





























[1] Syaikh Muhammad al Syarbiny, al Iqna’ fi halli al fadz Abi Syuja’ ( Mesir: al Mathba’ah al Khairiyah al Mishriyah, 1318 H),
[2] Dr. Musthafa Raib al Bugha, al Tadzhib Fi Adillah Matn al Ghayah Wa al Taqrib (Jeddah: al Haramain li al Thiba’ah wa al Nasyr, 1978), Cet. I, hlm. 135.
[3] Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, hlm. 118.
[4] Gemala Dewi, op.cit., hlm. 121.
[5] Al Mawardi, al Hawi al Kabir (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz. VI, hlm.473.
[6] Dr. Musthafa al Bugha, dkk., Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i (Beirut: Dar al qalam, 1992), Juz. III, hlm. 219.
[7] Al Imam Abu Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi (Surabaya: al Hidayah, tt), Juz. I, hlm. 346.
[8] Al Imam Ibn Rusyd al Qurthuby, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Beirut: Dar al Kutub al ilmiyah, tt), Juz. II, hlm. 385-386.
[9] Syaikh Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al Fikr, tt), Juz. III, hlm. 393.
[10] Syaikh Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al fikr, tt), Juz. III, hlm. 393.
[11] Al Imam Abu Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi…, Juz. I, hlm. 350.
[12] Dr. Musthafa al Bugha, dkk., Op.Cit, Juz. 3, hlm. 224.
[13] Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah, Cet.I,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.221.
[14] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet.2,(Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 175.
[15] Ibid, hlm.175.
[16] Berdasarkan brosur yang diterbitkan oleh Bank Syariah Bukopin. 

Comments

Popular posts from this blog

متن نظم هداية الصبيان في تجويد قراءة القرآن

Ijazah Wirid dari Syaikh Muhammad Abd Rabb al Nadhzari