PRAKTIK PEMBIAYAAN AL MUSYARAKAH (KEMITRAAN) DI BANK SYARIAH BUKOPIN
A.
Pendahuluan
Musyarakah, yang dalam literatur fikih sering disebut dalam bab syirkah
adalah salah satu produk fikih mu’amalah yang saat ini banyak
dipraktekkan di banyak Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Bagi lembaga
keuangan yang berbasis pada profit oriented, akad Syirkah ini
bahkan merupakan akad yang dianggap penting karena ia merupakan salah satu akad
yang berdasarkan pada prinsip tijari (mencari keuntungan) yang menjadi
penopang kelangsungan operasional Lembaga Keuangan Syari’ah.
Salah
satu lembaga keuangan syari’ah yang telah menggunakan akad syirkah
sebagai salah satu produk jasanya adalah Bank Syari’ah Bukopin dengan nama
produk “ pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah)”. Produk ini merupakan
suatu produk jasa yang menggunakan prinsip bagi hasil dimana Bank sebagai pihak
yang memiliki dana bermitra dengan perseorangan atau badan untuk membiayai
suatu usaha bersama.
Secara
teoritis, bentuk syirkah yang diakui keabsahannya oleh jumhur ulama
adalah syirkah Inan, yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara
dua orang atau lebih yang menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf)
dalam suatu modal (maal) secara persentase (syuyu’) dengan sistem
keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Oleh karena itu, sudah seharusnya
produk pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) mengikuti
ketentuan-ketentuan yang ada pada akad syirkah Inan sebagaimana
yang telah dibahas oleh para ulama dalam literature fikih klasik maupun berupa
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN MUI.
Berdasarkan
hal tersebut, makalah ini bermaksud meninjau praktek akad pembiayaan iB Bagi
hasil (Musyarakah) dalam perspektif hukum fikih.
B.
Konsep al Musyarakah (kemitraan)
1.
Pengertian
al Musyarakah
al Musyarakah berasal dari
kata syaraka yasyruku syirkah yang diikutkan wazan mufaa’alah
yang berfaidah musyarakah (pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih). Syirkah (terkadang disebut Syarikah atau syarkah)
sendiri secara bahasa berarti bercampur.[1]
Apabila Abu Syuja’ mendefinisikan syirkah sebagai tetapnya hak dengan
cara prosentase dalam sesuatu yang satu (ثبوت
الحق علي وجه الشيوع في شيئ واحد)[2],
maka al musyarakah dapat dipahami sebagai sebuah kontrak atas sesuatu
yang dilakukan oleh dua orang (atau pihak) atau lebih dengan cara prosentase.
Banyak definisi al Musyarakah ini yang diungkapkan oleh fuqaha
dalam beberapa literature fikih, walaupun diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda namun esensi yang terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan
kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[3]
2.
Landasan
Dalil al Musyarakah
a.
Q.S.
al nisa: 12
… bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
…tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.(
Q.S. al nisa: 12)
b.
Q.S.
Shad: 24
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ß¼ãr#y $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud
mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertaubat..(Q.S.
Shad: 24)
c.
H.R.
Abu Dawud
قَالَ
النَّبِيُّ ص م: " إِنَّ اللَّهَ، يَقُولُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا
لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
"
Nabi SAW Bersabda: Allah SWT Berfirman: Aku adalah yang ketiga dari
dua pihak yang berserikat selama salah satu dari keduanya tidak mengkhiyanati
mitranya. Apabila ia mengkhiyanatinya, maka Aku keluar dari (perserikatan)
antar keduanya.(H.R. Abu
Dawud)
3.
Macam-macam
bentuk kemitraan (Syirkah)
Syirkah secara
umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu:[4]
a.
Syirkah Ibahah, yaitu: persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada dibawah kekuasaaan seseorang.
b.
Syirkah
amlak,yaitu: persekutuan antara dua orang
atau lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah amlak terbagi menjadi
dua, yakni:
1)
Syirkah
milik jabriyah yang terjadi tanpa keinginan para pihak yang
bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris.
2)
Syirkah
milik ikhtiyariyah yang terjadi
atas keinginan para pihak yang bresangkutan.
c.
Syirkah
akad, yaitu: persekutuan antara dua orang
atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad ini terbagi
menjadi empat macam, yakni:
1)
Syirkah al
Inan yaitu kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf) dalam suatu modal (maal)
secara persentase (syuyu’) dengan sistem keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Maksud syuyu’ di sini adalah hak tasharruf setiap
mitra atas modal tidak ditentukan secara fisik, melainkan berdasarkan persenan.
Misalnya, 50% dari total modal.[5]
Secara
hukum, syirkah al Inan diakui legalitasnya oleh ulama, sebab disamping
berdasarkan dalil naql, desakan kebutuhan (hajah) perdagangan dalam
skala besar mustahil tanpa melibatkan banyak investor sebagai pemilik modal.
Lebih dari itu, substansi akad syirkah adalah akad wakalah yang dilegalkan.
Artinya, setiap syarik (pihak yang bermitra) saling mewakilkan secara
gratis pada mitranya dalam meniagakan modalnya, untuk mendapatkan keuntungan
bersama.
2)
Syirkah
al Abdan yaitu kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan (‘amal) suatu proyek
dengan sistem keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Syirkah al abdan
hanya melibatkan tenaga (amal), tanpa melibatkan harta (maal).[6]
Contoh, A adalah seorang arsitektur designer, B adalah ahli konstruksi
bangunan, dan C adalah ahli instalasi. Kemudian mereka bertiga bekerja sama
untuk mengerjakan sebuah proyek.
Secara
hukum, syirkah al abdan ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut Imam Abu
Hanifah diperbolehkan secara mutlak, menurut Imam malik diperbolehkan jika
pekerjaannya tunggal, dan menurut Syafi’iyah tidak diperbolehkan secara mutlak.
Ulama syafi’iyah tidak memperbolehkan syirkah al inan ini karena menurut mereka
tidak ada istilah syirkah dalam amal.[7]
3)
Syirkah
al Mufawadlah yaitu kontrak
kerjasama kemitraan antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha tertentu
yang melibatkan pekerjaan (amal) dan modal (maal) dengan sitem profit and loss
sharing. Syirkah al Mufawadlah ini merupakan kombinasi dari syirkah
al inan dan syirkah al abdan.
Secara
legalitas hukum, Syirkah al Mufawadlah diperselisihkan ulama. Menurut
imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sah. Sebab dalam Syirkah al Mufawadlah terkandung
muatan bai’ dan wakalah, yakni setiap mitra menjual aset modalnya kepada yang
lain, dan melimpahkan managemen pengelolaan (nadhar) aset yang berada di
bawah tangannya. [8]
Sedangkan menurut Syafi’iyah tidak sah, karena dua alasan mendasar.
Pertama,
legalitas akad syirkah harus dibangun atas dasar penggabungan (ikhthilath)
modal secara persentase (syuyu’), sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan
dalam profit. Sebab profit adalah cabang (furu’) dari akar pokok (ushul)
berupa modal. Dalam akad syirkah al mufawadlah tidak tejadi
penggabungan modal (ushul), sehingga penggabungan profit furu’
tidak sah.
Kedua,
membebankan ganti rugi (dlaman) terhadap mitra atas resiko yang diluar
tanggung jawabnya.[9]
4)
Syirkah
al Wujuh yaitu kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih yang memiliki popularitas atau ketokohan (wajih)
yang bisa mendongkrak nilai jual komoditi. Yang dimaksud popularitas di sini
adalah pihak yang telah mendapatkan kepercayaan publik (konsumen atau produsen)
dalam dunia bisnis karena prestasi, managemen, atau profesionalisme kerja.[10]
Secara
hukum, akad Syirkah al Wujuh diperselisihkan ulama. Menurut Hanafiyah
dan Hanabilah diperbolehkan dengan dua argumentasi. Pertama, berdasarkan
prinsip awalnya, semua muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dan di sini tidak ditemukan dalil yang melarang tersebut. Kedua,
faktor hajah yang mendesak, masih memungkinkan untuk melegalkannya melalui
pendekatan konsep perwakilan implisit (wakalah dlimni).[11]
5)
Syirkah mudlarabah yaitu
suatu kontrak kerjasama yang salah satu pihak (pemilik) berhak mendapatkan
bagian keuntungan, karena sebagai pemilik barang (rabbul mal) dan
mitra lainnya (dlarib/pengelola) berhak memperoleh bagian atas bagiannya
sendiri.
4.
Rukun
akad syirkah al Inan
a.
Shighah
Yaitu ijab
dan qabul dari seluruh mitra yang menunjukkan makna izin tasharruf terhadap
modal syirkah dalam perniagaan (tijarah), baik secara jelas (sharih)
atau kinayah. Sebab modal yang bersifat gabungan (musytarak)
tidak bisa di-tasharruf-kan tanpa izin pemiliknya.
b.
Aqidain
Yaitu dua
pelaku syirkah (syarikain) yang mengadakan kerja sama kemitraan
dengan modalnya masing-masing. Aqidain disyaratkan harus memenuhi
kriteria sah mengadakan wakalah karena masing-masing syarik (yang
berserikat/mitra) berperan sebagai muwakil (wakil atas nama
perserikatan).[12]
c.
Ma’qud ‘alaih
Yaitu modal
yang di-syirkah-kan. Adapun syarat-syarat ma’qud ‘alaih meliputi:
Ø
Syuyu’
Sebelum syirkah
dilangsungkan, disyaratkan kepemilikan setiap mitra terhadap modal harus
bersifat persentase (syuyu’).
Ø Profit sharing
Apabila dalam
kegiatan perserikatan tersebut didapatkan keuntungan, maka hasilnya dibagi
sesuai syuyu’ yang telah disepakati bersama di muka.
Ø Loss sharing
Begitu pula
apabila dalam kegiatan perserikatan tersebut didapatkan kerugian, maka
ditanggung setiap mitra sesuai persentase (syuyu’) modalnya
masing-masing.
C.
Masa
Berlakunya dan Berakhirnya Kontrak Syirkah
Syirkah
merupakan akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat, masing-masing mitra
memiliki hak untuk menghentikan kontrak. Selain itu, akad syirkah juga bisa
batal jika salah satu pihak meninggal dunia, murtad, atau gila.[13]
Adapun masa berakhirnya kontrak syirkah yang juga pada prinsipnya kontrak
musyarakah akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, meninggal
atau modal yang ditanamkan mengalami kerugian.
Mayoritas
ulama kecuali madzhab Maliki berpendapat bahwa setiap mitra berhak menghentikan
kontrak kapan saja ia menginginkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan
berakhirnya suatu akad asy-syirkah. Menurut para ulama fiqh hal-hal yang dapat
membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad asy-syirkah, ada yang bersifat
umum, disamping ada juga hal-hal khusus yang menjadi penyebab batal atau
berakhirnya masing-masing bentuk perserikatan.
Adapun
hal-hal yang membatalkan atau menyebabkan berakhirnya suatu akad perserikatan
secara umum adalah:[14]
1.
Salah
satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para pakar fiqh, akad perserikatan
itu tidak bersifat mengikat, dalam artian tidak boleh dibatalkan.
2.
Salah
satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
3.
Salah
satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit
disembuhkan.
4.
Salah
satu pihak murtad (keluar dari agama islam) dan melarikan diri ke negeri yang
berperang dengan negeri muslim; karena orang seperti ini dianggap sebagai telah
wafat.
Kemudian
para ulama fiqh juga mengemukakan hal-hal yang membuat berakhirnya akad
perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang
dilakukan adalah sebagai beikut:[15]
1.
Syirkah al-amwal, akad perserikatan ini dinyatakan batal apabila
semua atau sebagian modal perserikatan hilang, karena obyek perserikatan dalam
perikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan itu bubar.
2.
Syirkah al-Mufawadhah, akad perserikatan ini dinyatakan
batal apabila modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena
al-mufawadhah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja maupun
keuntungan dibagi.
D.
Fatwa
DSN- MUI Tentang Ketentuan Syirkah
Dalam fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah,
Dewan Syari’ah Nasional mengatur mengenai ketentuan dalam pembiayaan
Musyarakah.
1.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a.
Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.
Penerimaan
dan penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.
Pihak-pihak
yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Kompeten
dalam memberikan akad atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.
Setiap
mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
c.
Setiap
mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis
normal.
d.
Setiap
mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan
masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas
musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja.
3.
Obyek
akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.
Modal
1)
Modal
yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal
dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan
sebagainya. Jika modal berbentuk aset harus terlebih dahulu dinilai dengan
tunai dan disepakati oleh para mitra.
2)
Para
pihak yang tidak boleh meminjam, memainkan, menyumbangkan atau menghadiahkan
modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3)
Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan LKS dapat meminta jaminan.
b.
Kerja
1)
Partisipasi
para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi,
kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari
yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan
bagi dirinya.
2)
Setiap
mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari
mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam
kontrak.
c.
Keuntungan
1)
Keuntungan
harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa
pada waktui alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah.
2)
Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.
3)
Seorang
mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
kelebihan atas prosentase itu diberikan kepadanya.
4)
Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang jelas dalam akad.
5)
Kerugian
Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing.
d.
Biaya
opersional dipersengketakan.
1)
Biaya
operasional dibebankan pada modal bersama.
2)
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui BASYARNAS setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
E.
Praktek akad pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank
Syariah Bukopin[16]
1.
Definisi
Kerjasama dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dan atau karya/keahlian dengan kesepakatan
keuntungan dan resiko menjadi tanggungan bersama sesuai kesepakatan.
2.
Akad
Akad yang
digunakan adalah musyarakah, yaitu kerjasama antara bank dengan Nasabah untuk
mencapurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
3.
Manfaat
a.
Dapat
digunakan untuk pembiayaan modal kerja usaha.
b.
Sistem
bagi hasil sesuai hasil proyek/usaha
c.
Pembayaran
dapat dilakukan sesuai dengan cash flow
d.
Jangka
waktu pembiayaan sesuai jadwal penyelesaian proyek
4.
Syarat
dan ketentuan
Perorangan dan
badan usaha
No.
|
Jenis
Dokumen
|
Perorangan
|
Badan
Usaha
|
1
|
Copy
Identitas diri
|
ü
|
-
|
2
|
Copy
Surat Nikah
|
ü
|
-
|
3
|
Copy
KK
|
ü
|
-
|
4
|
Copy
Akta Pendirian Usaha
|
-
|
ü
|
5
|
Identitas
Pengurus
|
-
|
ü
|
6
|
Legalitas
Usaha
|
-
|
ü
|
7
|
Laporan
keuangan 3 bulan terakhir
|
ü
|
ü
|
8
|
Data
obyek pembiayaan
|
ü
|
ü
|
9
|
NPWP
|
ü
|
ü
|
10
|
Salinan
rekening Koran/tabungan 3 bulan terakhir
|
ü
|
ü
|
F.
Praktek
akad pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah Bukopin dalam
tinjauan fikih
Dalam
menilai kesesuaian praktik pembiayaan iB Bagi Hasil (Musyarakah)
di Bank Syariah Bukopin berdasarkan hukum fikih, setidaknya harus ditinjau dari
tiga hal, yakni: rukun, syarat, dan akad.
Rukun
Syirkah yang terdiri dari tiga hal yakni: Shighah, aqidain,
dan ma’qud ‘alaih, telah terpenuhi oleh produk iB Bagi Hasil (Musyarakah)
di Bank Syariah Bukopin ini. Shighah dalam produk ini berupa surat perjanjian
tertulis antara pihak bank dengan nasabah penerima pembiayaan. Shighah akad di
sini diwujudkan dalam bentuk klausul-klausul perjanjian yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
Aqidain
di sini berupa pihak I (Aqid I) yakni bank yang diwakili oleh seorang yang
telah diberi wewenang oleh bank untuk melakukan perjanjian, dan pihak II (aqid
II) yakni nasabah yang berupa perseorangan maupun badan. Sedangkan Ma’qud
‘alaih yang disyaratkan berupa: Syuyu’ (persentase) kepemilikan
setiap mitra terhadap modal untuk menentukan syuyu’ Profit and
Loss sharing.
Dilihat
dari sisi Akad, iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank Syariah
Bukopin ini berdasarkan model syirkah inan yakni: akad kerjasama antara bank
dengan Nasabah untuk mencapurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu,
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah
disepakati.
Apabila
dilihat dari sisi rukun dan akad pada iB Bagi Hasil (Musyarakah) di Bank
Syariah Bukopin ini tidak ditemui ada masalah dan telah sesuai dengan ketentuan
dalam syirkah inan. Baik menurut pendapat ulama dalam literatur-literatur
fikih maupun fatwa DSN MUI. Begitupun jika dilihat dari syarat-syarat yang
diajukan oleh Bank Syariah Bukopin bagi Perseorangan maupun Badan yang akan
mengajukan pembiayaan dengan model Musyarakah ini, semua item yang diajukan
sesuai dengan ketentuan yang ada pada syirkah inan.
G.
Penutup
Dalam
praktek usaha dewasa ini memang banyak ditemui model-model perserikatan yang
orientasi semuanya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Para ulama sejak dahulu
pun sudah membedakan syirkah dalam beberapa bentuk. Ada syirkah inan,
syirkah abdan, syirkah mufawadlah, dan lain
sebagainya. Namun demikian, hanya ternyata hanya syirkah inan
yang disepakati keabsahannya oleh jumhur ulama. Maka tidak mengherankan apabila
kepeutusan fatwa DSN MUI ternyata lebih condong untuk mengikuti model syirkah
inan ini. Menurut Imam al Syafi’i pun, model syirkah inan ini
adalah model syirkah yang paling adil karena mencerminkan kesamaan
hak kewajiban pada semua pihak yang berserikat.
Bank
Syariah Bukopin yang telah mengeluarkan produk jasa bernama pembiayaan iB Bagi
Hasil (musyarakah) setelah dikaji ternyata sesuai dengan ketentuan akad syirkah
inan. Sehingga, produk ini layak untuk dimanfaatkan oleh segenap umat
islam dalam pengembangan usaha produktif. Wallahu a’lam bi al shawab.
Daftar
Pustaka
al Syarbiny, Syaikh Muhammad. al
Iqna’ fi halli al fadz Abi Syuja’. Mesir: al Mathba’ah al Khairiyah al
Mishriyah, 1318 H.
al Bugha,
dkk.,Dr. Musthafa. Al Fiqh Al Manhajy
Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i. Beirut: Dar al qalam, 1992.
al Bugha, Dr.
Musthafa Raib. al Tadzhib Fi Adillah Matn al Ghayah Wa al Taqrib.
Jeddah: al Haramain li al Thiba’ah wa al Nasyr, 1978.
Al Mawardi, al
Hawi al Kabir. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt.
al Nawawi, Al
Imam Abu Zakariya. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi. Surabaya:
al Hidayah, tt.
al Qurthuby, Al
Imam Ibn Rusyd. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid. Beirut: Dar
al Kutub al ilmiyah, tt.
al Jamal,
Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al Jamal. Beirut: Dar al Fikr,
tt.
Dimyauddin Djuwaini, Fiqh
Muamalah, Cet.I,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Gemala Dewi,
dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,
Cet.2,Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007.
Brosur tentang pembiayaan iB Bagi
Hasil yang diterbitkan oleh Bank Syariah Bukopin.
[1] Syaikh
Muhammad al Syarbiny, al Iqna’ fi halli al fadz Abi Syuja’ ( Mesir: al
Mathba’ah al Khairiyah al Mishriyah, 1318 H),
[2] Dr. Musthafa
Raib al Bugha, al Tadzhib Fi Adillah Matn al Ghayah Wa al Taqrib
(Jeddah: al Haramain li al Thiba’ah wa al Nasyr, 1978), Cet. I, hlm. 135.
[3] Gemala Dewi,
dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, hlm.
118.
[4] Gemala Dewi, op.cit.,
hlm. 121.
[5] Al Mawardi, al
Hawi al Kabir (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz. VI, hlm.473.
[6] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i
(Beirut: Dar al qalam, 1992), Juz. III, hlm. 219.
[7] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi (Surabaya:
al Hidayah, tt), Juz. I, hlm. 346.
[8] Al Imam Ibn
Rusyd al Qurthuby, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Beirut:
Dar al Kutub al ilmiyah, tt), Juz. II, hlm. 385-386.
[9] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al Fikr,
tt), Juz. III, hlm. 393.
[10] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al fikr,
tt), Juz. III, hlm. 393.
[11] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi…, Juz. I,
hlm. 350.
[12] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Op.Cit, Juz. 3, hlm. 224.
[13] Dimyauddin
Djuwaini, Fiqh Muamalah, Cet.I,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.221.
[14] Nasrun Haroen,
Fiqh Muamalah, Cet.2,(Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 175.
[15] Ibid,
hlm.175.
[16] Berdasarkan
brosur yang diterbitkan oleh Bank Syariah Bukopin.
Comments
Post a Comment