Bank Syari'ah: Syari'ah tanpa Aqidah
A.
Pendahuluan
Dalam
kitab Al Arba’in Al Nawawiy yang di pesantren-pesantren salafiyah
populer dengan sebutan “kitab Arba’in Nawawi” disebutkan sebuah hadits yang
berbunyi sebagai berikut:[1]
عَنْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيدُ، بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ، سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ
أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ،
وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَخْبِرْنِي عَنِ
الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: " الإِسْلَامُ
أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،
وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
"، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: " أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ،
وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ "، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي
عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: " أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنه يراك. (رواه مسلم)
Dari
Umar Bin Khattab RA, beliau berkata: suatu ketika kami sedang duduk-duduk di
dekat Rasulullah SAW. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat
putih, rambutnya sangat hitam, tidak diketahui adanya bekas dari satu
perjalanan, dan kami pun tidak ada yang mengenalnya. Dia duduk di sisi nabi
dengan menempelkan kedua lututnya kepada kedua lutut Beliau (Rasulullah SAW).
Dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Beliau, dan berkata: Hai
Muhammad, jelaskan padaku tentang Islam!. Rasulullah SAW menjawab: Islam adalah
Kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasulullah.
Mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke
baitullah ketika kamu mampu berangkat ke sana. Dia berkata: kamu benar! (wahai
Muhammad). Umar RA berkata: kami heran. Dia yang bertanya dan dia pula yang
membenarkan. Dia berkata (lagi): jelaskan padaku tentang iman!. Beliau
menjawab: kamu beriman kepada Allah, kepada malaikatNYA, kepada kitab-kitabNYA,
kepada utusan-utusanNYA, kepada hari akhir, dan kepada baik dan buruknya qadar
dari Allah SWT. Dia berkata: kamu benar!. Dia berkata (lagi): jelaskan padaku
tentang ihsan!. Beliau menjawab: kamu beribadah kepada Allah SWT seakan-akan
kamu melihatNYA, jika kamu tak mampu melihatNYA, sesungguhnya Dia melihatmu. (H.R. Muslim)
Al
Imam Ibnu Daqiq al Id dalam Syarh al arba’in haditsan al nawawiyah menyebut
bahwa hadits tersebut adalah hadits yang sangat penting. Hadits tersebut
mencakup semua tata aturan aktifitas dzahir maupun bathin. Semua
ilmu syari’ah dikembalikan kepada hadits tersebut.[2]
Dalam Hadits tersebut ulama menyebut bahwa Agama Islam dibangun atas
tiga pondasi, yakni: Islam, Iman, dan Ihsan yang juga
sering disebut dengan Syariah, Aqidah, dan Akhlak.[3]
Terkait
dengan nomenklatur “Syariah” yang melekat pada lembaga perbankan syariah di
Indonesia, banyak kalangan menuduh bahwa penggunaan nomenklatur “syariah”
tersebut belum tepat jika dilihat dari sisi prakteknya. Beberapa pihak yang
menuduh bahwa penggunaan nomenklatur “syariah” tersebut belum tepat dengan
alasan yang antara lain menyebutkan bahwa bank syariah yang ada sekarang ini
terlihat hanya dijadikan sebagai lembaga pencari untung oleh para stake holders.
Meminjam istilahnya Gus Mus, bank syariah telah menjadi ghayah (tujuan),
bukan wasilah (media) dalam rangka mengabdi kepada Allah dan RasulNYA.
Berkaitan
dengan hal ini, syaikh Mahmud Syaltut dengan merujuk hadits Jibril berpendapat
bahwa syariah, aqidah, dan akhlak adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Sehingga, semestinya semua pihak yang
berkaitan dengan lembaga perbankan syariah tidak hanya memperhatikan syariah
sebagai tata aturan fikih muamalah semata, tetapi seyogyanya mereka juga
memperhatikan sisi aqidah dan akhlak sebagai dua hal yang tidak terpisahkan
dari syariah itu sendiri.
Makalah
ini bermaksud mengupas sedikit tentang dimensi aqidah dalam operasional bank
syariah di Indonesia.
B.
Aqidah,
syariah, dan akhlaq
1.
Pengertian
Aqidah
Secara etimologi berarti: ikatan, janji. Sedangkan menurut terminologi, aqidah
berarti sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya yang membuat jiwa tenang
dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.[4]
Syaikh Mahmud Syaltut, seorang pemikir dan mantan menteri agama Mesir pada
tahun 1960-an mendefinisikan aqidah sebagai cara pandang (al janib
al nadzary) yang dituntut oleh Iman untuk pertama kali dan
sebelum apapun dengan kepercayaan yang tanpa keraguan.[5]
Sedangkan
syariah menurut secara etimologi bisa diartikan dengan jalan atau
aturan. Adapun menurut terminologi, syariah berarti norma yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan (melalui ibadah), hubungan manusia dengan manusia
(melalui mu’amalah), dan hubungan manusia dengan alam semesta.[6]
Syaikh
Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah dengan tata aturan (al nidzam)
atau pokok-pokok aturan (al ushul) yang dibuat oleh Allah untuk
digunakan oleh manusia dalam hubungannya (al ‘alaqah) dengan
Tuhannya, dengan saudara-saudaranya sesama muslim, dengan saudara-saudaranya
sesama manusia, dengan benda-benda mati (al sukun), dan dengan
benda-benda hidup (al hayah).[7]
Adapun
Akhlak secara substansial sama dengan etika, yaitu ajaran tentang baik dan
buruk perilaku manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, hubungannya dengan
sesama manusia, dan hubungannya dengan alam. Akhlak merupakan ilmu yang
menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji atau tercela menyangkut
perilaku manusia yang meliputi perkataan, pikiran dan perbuatan manusia lahir
batin. Akhlak secara substansial adalah sifat hati, bisa baik bisa buruk, yang
tercermin dalam perilaku. Jika sifat hatinya baik, yang muncul adalah perilaku
baik (akhlak mahmudah) dan jika sifat hatinya buruk maka yang
muncul adalah perilaku yang buruk (akhlak madzmumah).[8]
2.
Keterkaitan
antara aqidah, syariah, dan akhlaq
Menurut
Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah
menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian
di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang
dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat
di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan
berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa
akidah laksana gedung tanpa fondasi.[9]
Jika
syari'at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama
Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari'at disebut bersama 'aqidah,
maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum,
perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan 'aqidah
(keyakinan).
Kalau
seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah
mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, Niscaya dia bersiap-siap
sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia
senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan
orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke
medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang
untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang
mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan
bercampur bohong.
Dengan demikian,
maka 'aqidah dan syari'ah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan.
Keyakinan inilah yang disebut dengan 'aqidah, dan amalan ini yang disebut
syari'at. Sehingga iman itu mencakup 'aqidah dan syari'at, karena memang iman
itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan
amalan.
Adapun mengenai keterkaitan antara ketiga pondasi agama tersebut di atas,
Allah SWT dalam QS. Ibrahim: 24-27 memberikan ilustrasi yang sangat menarik.
Aqidah, syariah, dan akhlak dalam QS. Ibrahim: 24-27 tersebut diumpamakan seperti
hubungan antara akar, batang, dan buah (kasyajaratin thayyibah).[10]
öNs9r& ts? y#øx. z>uÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 crã2xtGt ÇËÎÈ ã@sVtBur >pyJÎ=x. 7psWÎ7yz >otyft±x. >psVÎ6yz ôM¨VçGô_$# `ÏB É-öqsù ÇÚöF{$# $tB $ygs9 `ÏB 9#ts% ÇËÏÈ àMÎm6sVã ª!$# úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ÉAöqs)ø9$$Î/ ÏMÎ/$¨V9$# Îû Ío4quptø:$# $u÷R9$# Îûur ÍotÅzFy$# ( @ÅÒãur ª!$# úüÏJÎ=»©à9$# 4 ã@yèøÿtur ª!$# $tB âä!$t±t ÇËÐÈ
(24).
tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, (25). pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat.(26). dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk,
yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap
(tegak) sedikitpun. (27). Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. Ibrahim: 24-27).
Sejalan
dengan keterkaitan yang sangat erat antara Syariah, Aqidah, dan akhlak sebagaimana
dalam QS. Ibrahim: 24-27 tersebut di atas, kiranya perlu kita renungkan bersama
perkataan Ustadz Abul A’la al Maududi, seorang cendekiawan muslim besar dari
India dalam satu kesempatan: “Sesungguhnya Islam hari ini sangat membutuhkan
syahadat praksis kita setelah sebelumnya kita bersyahadat verbal”.[11]
Dari sini dapat dipahami bahwa sejatinya Syariah, Aqidah, dan akhlak merupakan 3
unsur dalam satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu
dari lainnya. Apabila salah satu dari 3
unsur tersebut tidak ada, maka 2 unsur lainnya seperti tiada artinya.
C.
Dinamika
Bank Syariah di Indonesia
1.
Bank
syariah sebagai lembaga bisnis
Bagaimanapun
juga, bank syariah adalah lembaga bisnis yang dituntut untuk mampu mendapatkan
laba dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai syariah yang universal.
Maksudnya, bank syariah akan mempertimbangkan aspek bisnis yang menguntungkan
dan aman dalam memberikan pembiayaan.[12]
2.
Bank
syariah belum bebas bunga
Prof.
Anton Athoilah dalam sebuah artikel yang diterbitkan Middle-East Journal of Scientific
Research 14 (10):
1390-1400, 2013. menyimpulkan bahwa ternyata Bank Syariah masih belum bisa
dikatakan bank yang bebas bunga. Ia mengatakan bahwa:
“The Islamic
banks clearly do not erase ‘interest’ from their transactions, but hide it in
many pseudonyms and terms. There is no convincing argument that the Islamic
economists have developed financing methods that are proven free from interest
and at the same time can become the foundation of modern banking system.
Therefore, perhaps this is the right time to realistically look again upon
usury.”
Bank
syariah hanya menyembunyikan interest (bunga) dalam istilah-istilah yang
baru. Menurutnya, belum ada argumen yang cukup meyakinkan bahwa ekonomi Islam
telah meningkatkan metode pembiayaan yang terbukti telah terbebas dari bunga,
yang pada waktu yang sama juga bisa menjadi pelopor sistem perbankan modern.
3.
Bank
syariah untuk mensejahterakan masyarakat atau hanya profit oriented
Tulisan
Prof. Anton Athoillah dalam Middle-East
Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013 selain membuktikan bahwa
Bank syariah belum bebas bunga, ternyata ditemukan juga bahwa bank syariah
hingga saat ini belum bisa meneyelaraskan dengan tujuan luhur diturunkannya
syariah islam, yakni sebagai rahmah lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi semesta). Prof.
Anton mengajukan bukti factual yang tergambar dalam angka-angka statistic sebagai
dasar argumennya ini.
Menurutnya,
bank syariah yang ada saat ini masih berkutat hanya memikirkan eksistensi dan
keuntungan lembaga, belum menyentuh misi mensejahterakan sosial dan lebih
humanis (more humanely) sebagaimana
tujuan luhur syariah Islam sebagai rahmah lil ‘alamin. Dalam
kesimpulannya, Ia menulis: [13]
“In banking, it
is not sufficient to label Islamic and shariah to a certain bank and the bank
is wholly Islamic. Banks, whether Islamic or not, should operate more humanely,
be able to give people access to resources with humane requirements and with
decent cost.”.
Menurut data numerik, jauhnya bank syariah dari tujuan luhur
syariah Islam sebagai rahmah lil ‘alamin dapat dilihat dari data
statistic dan tabel berikut:
Pada tahun 2011
jumlah BUS (Bank Umum Syariah) ada 11 unit, tahun 2015 menjadi 12 unit. Jumlah
BPRS pada tahun 2011 adalah 155 unit, menjadi 161 unit pada tahun 2015. Total
kantor Bank syariah pada tahun 2011 berjumlah 2.101 unit, menjadi 2.880 pada
tahun 2015. Laba bersih setelah dikurangi pajak (EAT) pada tahun 2011 adalah
239 M menjadi 1, 317 T pada tahun 2015.[14]
No.
|
Akad
|
Persentase financing tahun 2011
|
Persentase financing tahun 2015
|
1
|
Mudarabah
|
11.80 %
|
7.31 %
|
2
|
Musharakah
|
20.18 %
|
26.50 %
|
3
|
Murabahah
|
55.05 %
|
57.76 %
|
4
|
Salam
|
0 0 %
|
0.0 %
|
5
|
Istishna
|
0.44 %
|
0.33 %
|
6
|
Ijarah
|
3.46 %
|
5.67 %
|
7
|
Qard
|
9.05 %
|
2.42 %
|
8
|
Others
|
0 0 %
|
0.0 %
|
Dari data statistik dan tabel di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa: dari tahun 2011 hingga tahun perkembangan bank syariah dari sisi aset
dan laba bersih (EAT) mengalami peningkatan yang luar biasa. Hanya saja, yang
patut disayangkan adalah ternyata perkembangan pada aset dan EAT tersebut tidak
diiringi dengan meningkatnya pelayanan kemapa umat. Terlihat, dari sisi
financing bank syariah sepertinya lebih tertarik untuk menyalurkan pembeiayaan
pada murabahah dan musyarakah dari pada mudlarabah maupun qard.
Boleh jadi, hal ini dilakukan bank syariah karena lebih memilih pembiayaan yang
profit oriented dari pada yang bernilai social oriented.
4.
Bank
syariah sebagai washilah (alat/perantara) atau ghayah (target/tujuan
akhir)
Washilah di sini maksudnya adalah alat/perantara. Sedangkan ghayah
adalah target / tujuan akhir. Kalimat washilah dan ghayah ini
adalah kalimat yang paling sering disampaikan oleh KH. A. Musthafa Bisri (Gus
Mus) dalam berbagai kesempatan. Dalam kalimat tersebut ditunjukkan bahwa dunia
ini hanya sekedar washilah (alat/perantara), bukan ghayah
(tujuan). Namun demikian, menurut Gus Mus, umat Islam dewasa ini banyak yang
terjebak pada urusan washilah, disibukkan pada urusan washilah
dan lupa dengan ghayah (tujuan) yang sesungguhnya. [16]
Dalam
kaitannya dengan bank syariah, umat Islam banyak yang menganggapnya sebagai ghayah
(tujuan), padahal ia sebenarnya hanyalah washilah (perantara). Yakni washilah
untuk mencapai tujuan diturunkannya ajaran Islam ini yang tak lain adalah
sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmah lil ‘alamin).
Ketika
bank syariah telah dianggap sebagai ghayah, maka yang akan terjadi
adalah seluruh elemen yang terlibat dalam suatu bank syariah hanya berfikir
untuk terus mencari cara bagaimana agar tercapai laba bank syariah sebesar-besarnya.
Artinya, sebagai tolok ukur tercapainya keberhasilan suatu bank syariah dilihat
dari seberapa besar peningkatan labanya, bukan seberapa besar kontribusinya
untuk mensejahterakan umat.
D.
Dimensi
Aqidah dalam operasional Bank syariah
Apabila
pengertian Aqidah merujuk pada faham Ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana
yang disusun oleh Imam Abu Hasan al Asy’ary, maka aqidah islam terbagi atas
enam bagian, yaitu: Iman kepada Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman
kepada utusan-utusan Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadar. Enam
bagian ini merujuk pada hadits jibril (hadits ke-2 yang disebut dalam kitab al
arba’in al nawawy) dan sering disebut dengan rukun iman yang enam.[17]
a.
Iman
kepada Allah
Beriman
kepada Allah artinya kita percaya seyakin-yakinnya bahwa Tuhan itu ada. Ia
mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa Tuhan memiliki sekalian sifat
Jamal (keindahan), sifat Jalal (kebesaran), dan sifat kamal (kesempurnaan).[18]
Dalam
konteks bank syariah, seyogyanya landasan bertindak dari seluruh elemen yang
terlibat dalam operasional bank syariah adalah iman kepada Allah SWT. Hal ini
berarti bahwa tidak ada lagi yang ditakutkan untuk menjalankan prinsip-prinsip
syariah pada bank syariah karena di dalam hati telah tertanam keyakinan yang
kuat akan kalimah tauhid “laa ilaaha illa Allah” tiada Tuhan selain Allah.
Tiada yang perlu ditakutkan selain Allah, tidak ada yang lebih bisa menjamin
hidup selain Allah, dan tidak ada yang boleh lebih dijunjung tinggi
kebenarannya selain Allah.
b.
Iman
kepada Malaikat
Beriman
kepada malaikat Allah SWT artinya, mempercayai bahwa ada suatu makhluk halus
yang dijadikan dari nur (cahaya) bernama malaikat. Bagaimana hakikat tubuh dari
malaikat hanya Tuhan yang lebih tahu, kita serahkan kepada Tuhan, karena tidak
diwajibkan untuk mengetahuinya. Yang wajib kita ketahui mengenai malaikat Allah
hanya: Malaikat banyaknya tak terhitung. Setiap malaikat mempunyai tugas
masing-masing dari Tuhan. Mereka taat kepada Tuhan atas sekalian perintah yang
diberikan kepada mereka dan mereka tidak pernah bermaksiat kepadaNYA.[19]
Dalam
konteks bank syariah, seyogyanya iman kepada malaikat Allah ini akan selalu
mengingatkan bahwa selama ruh masih dikandung badan maka akan terus ada
malaikat kiraaman kaatibiin (malaikat yang bertugas mencatat
setiap perbuatan manusia) yang selalu menyertai setiap langkah manusia. Dengan
demikian, tidak aka nada lagi seseorang maupun kolektif yang berhubungan dengan
bank syariah akan coba-coba berbuat curang, kotor, dan hal-hal lain yang
bertentangan dengan prinsip syariah.
c.
Iman
kepada kitab-kitab Allah
Iman
kepada kitab-kitab Allah SWT artinya mempercayai adanya kitab-kitab suci yang
diturunkan Tuhan kepada rasul-rasulNYA untuk disampaikan kepada umat manusia
seluruhnya.[20]
Dengan
iman kepada kitab-kitab Allah ini seyogyanya menjadikan semua elemen yang
terlibat dengan bank syariah untuk tunduk pada ajaran-ajaran yang ada dalam al
Qur’an. Sehingga, yang menjadi petunjuk dalam operasional bank syariah bukan lagi
kepentingan pribadi, kelompok, maupun institusi. Melainkan al qur’an sebagai
petunjuk dan imam.
d.
Iman
kepada Utusan-utusan Allah
Iman
kepada utusan-utusan Allah SWT artinya mempercayai sekalian rasul-rasul Allah
yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan kitab suci kepada manusia.[21] Dengan iman kepada utusan-utusan Allah ini seyogyanya bisa
menjadikan utusan-utusan Allah sebagai tauladan dalam menjalankan bank syariah.
e.
Iman
kepada hari Akhir
Iman
kepada hari Akhir artinya percaya bahwa hari akhirat aka nada. Hari akhirat itu
bermula setelah kita sudah meninggal dunia sampai umat manusia masuk surge atau
neraka sesuai amal mereka masing-masing.[22]
Dengan
iman kepada utusan-utusan Allah ini mustinya bisa menjadikan semua elemen yang
terlibat dengan bank syariah selalu ingat bahwa setelah semua mati aka nada
hari perhitungan dan hari pembalasan. Dengan demikian iman kepada hari akhir
ini akan menjaga setiap orang berbuat dzalim kepada diri sendiri dan kepada
umat Islam.
f.
Iman
kepada Qadar Allah
Iman
kepada Qadar Allah artinya mempercayai adanya qadha (ketetapan) Tuhan pada azal
tentang sesuatu. Barang sesuatu yang akan terjadi semuanya sudah ditentukan
Tuhan sebelumnya dalam azal. Manusia wajib yakin seyakin yakinnya bahwa yang
terjadi di atas dunia ini semuanya sudah takdir Tuhan. Tidak ada seorang pun
yang bisa merubahnya. Oleh karenanya, dalam rukun iman ke-6 ini ditetapkan
bahwa takdir baik dan buruk semuanya dijadikan Tuhan, dan Tuhan berbuat
sekehendakNYA.[23]
Dengan
iman kepada qadar Allah ini seyogyanya bisa menjadikan penyadaran bagi setiap
orang bahwa manusia hanya bisa berusaha, akan tetapi Allah lah yang berkuasa menetapkan
taqdirnya kepada semua manusia. Sehingga, tidak perlu ada yang dikhawatirkan
lagi untuk terus mengawal agar praktek oporasional pada bank syariah selalu selaras
dengan kehendak Allah sebagaimana diterangkan dalam ajaranNYA.
E.
Penutup
Sayid
Qutub pernah berkata: “Muhammad Bin Abdullah SAW telah meraih kesuksesan saat
beliau berhasil menghadirkan fikrah Islam dalam sosok (para sahabat) dan
memanifestasikan keimanan mereka kepada Islam dalam bentuk amalan. Saat beliau
mencetak puluhan mushaf, ratusan, bahkan ribuan; namun beliau tidak mencetaknya
dalam wujud tulisan tinta di atas kertas melainkan mencetaknya dalam wujud
tulisan cahaya di atas lembaran hati. Interaksi di antara mereka, segala
aktivitas dan ucapan mereka adalah realisasi Islam yang dibawa oleh Muhammad
Bin Abdullah SAW dari sisi Allah Jalla wa ‘Ala”[24]
Dalam
kaitannya dengan bank syariah, saatnya kini umat islam baik yang berposisi
sebagai praktisi perbankan syariah, akademisi, maupun pemegang otoritas
legislasi dalam penyusunan peraturan mengenai perbankan syariah agar selalu menjaga
aqidah masing-masing. Aqidah yang bersih, murni, dan terjauhkan dari
penyembahan terhadap berhala-berhala modern yang mewujud dalam bentuk harta,
tahta, maupun kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya. Wallahu a’lam bi al
shawab
DAFTAR PUSTAKA
al Id, Ibn Daqiq. Syarh al Arba’in haditsan al Nawawiyah.
Makkah al Mukarramah: al Maktabah al Faisholihah, tt.
al Mishri, Mahmud. Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak
Seorang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadlu’, dan Malu, Terj. Ust. Imtihan
Asy-Syafi’I. Solo: Pustaka Arafah, 2007.
M. Anton Athoillah and Sofyan Al-Hakim, Reinterpreting the Ratio
legis of the Prohibition of Usury, Middle-East
Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013
Labibah Zain dan Lathifah Muluk, Gus Mus; Satu Rumah
Seribu Pintu. Yogyakarta: LKIS, 2009.
KH. Sirajuddin Abbas. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah. Jakarta:
Pustaka Tarbiyah Baru, 1995.
Syaltut, Mahmud. Al Islam Aqidah Wa Syariah. Cet. 18., Kairo:
Dar al Syauq, 2001.
Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi.
Jakarta: PT. Grasindo, 1987.
Yadi Saiful Hidayat, Merindukanmu Wahai Muhammad!; Buatlah
Nabimu Begitu Spesial Di Hatimu. Bandung: Mizan, 2007.
Yusak Laksmana, Tanya Jawab; Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan
Di Bank Syariah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009.
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS%20Juni%202015.pdf,
akses 22 september 2016 pukul 22:30.
[1] Ibn Daqiq al
Id, Syarh al Arba’in haditsan al Nawawiyah (Makkah al Mukarramah: al
Maktabah al Faisholihah, tt), hlm. 13.
[2] Ibid.,
hlm. 14.
[3]Yadi Saiful
Hidayat, Merindukanmu Wahai Muhammad!; Buatlah Nabimu Begitu Spesial Di
Hatimu (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 88.
[4] Wahyuddin,
dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: PT.
Grasindo, 1987), hlm. 19.
[5]
Syaikh Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah Wa Syariah (Kairo: Dar al Syauq,
2001), Cet. 18, hlm. 11.
[6]
Wahyuddin,
dkk., Op.Cit., hlm. 19.
[7]
Ibid., hlm. 12.
[8] Ibid.,
hlm. 52.
[9]
Syaikh Mahmud Syaltut, Op.Cit., hlm. 11.
[10] Ibid., hlm.
20.
[11] Mahmud al
Mishri, Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak Seorang Muslim Dalam Hal
Amanah, Tawadlu’, dan Malu, Terj. Ust. Imtihan Asy-Syafi’I (Solo: Pustaka
Arafah, 2007),, hlm. 85.
[12] Yusak
Laksmana, Tanya Jawab; Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan Di Bank Syariah
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009), hlm. 4.
[13] M. Anton
Athoillah and Sofyan Al-Hakim, Reinterpreting the Ratio legis of the
Prohibition of Usury, Middle-East Journal of Scientific Research 14
(10): 1390-1400, 2013
[14] http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS%20Juni%202015.pdf,
akses 22 september 2016 pukul 22:30.
[15] Ibid., akses
22 september 2016 pukul 22:30.
[16] Labibah Zain
dan Lathifah Muluk, Gus Mus; Satu Rumah Seribu Pintu (Yogyakarta:
LKIS, 2009), hlm. 210 – 211.
[17] KH. Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru,
1995) hlm. 27.
[19] Ibid.,
hlm. 41-42.
[20] Ibid.,
hlm. 48.
[21] Ibid.,
hlm. 52.
[22] Ibid.,
hlm. 70.
[23] Ibid.,
hlm. 75-76.
Comments
Post a Comment