Bank Syari'ah: Syari'ah tanpa Aqidah

A.  Pendahuluan
Dalam kitab Al Arba’in Al Nawawiy yang di pesantren-pesantren salafiyah populer dengan sebutan “kitab Arba’in Nawawi” disebutkan sebuah hadits yang berbunyi sebagai berikut:[1]

عَنْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ، بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ، سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: " الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا "، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ، قَالَ: " أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ "، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: " أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنه يراك. (رواه مسلم)

Dari Umar Bin Khattab RA, beliau berkata: suatu ketika kami sedang duduk-duduk di dekat Rasulullah SAW. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak diketahui adanya bekas dari satu perjalanan, dan kami pun tidak ada yang mengenalnya. Dia duduk di sisi nabi dengan menempelkan kedua lututnya kepada kedua lutut Beliau (Rasulullah SAW). Dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Beliau, dan berkata: Hai Muhammad, jelaskan padaku tentang Islam!. Rasulullah SAW menjawab: Islam adalah Kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasulullah. Mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah ketika kamu mampu berangkat ke sana. Dia berkata: kamu benar! (wahai Muhammad). Umar RA berkata: kami heran. Dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkan. Dia berkata (lagi): jelaskan padaku tentang iman!. Beliau menjawab: kamu beriman kepada Allah, kepada malaikatNYA, kepada kitab-kitabNYA, kepada utusan-utusanNYA, kepada hari akhir, dan kepada baik dan buruknya qadar dari Allah SWT. Dia berkata: kamu benar!. Dia berkata (lagi): jelaskan padaku tentang ihsan!. Beliau menjawab: kamu beribadah kepada Allah SWT seakan-akan kamu melihatNYA, jika kamu tak mampu melihatNYA, sesungguhnya Dia melihatmu. (H.R. Muslim)

Al Imam Ibnu Daqiq al Id dalam Syarh al arba’in haditsan al nawawiyah menyebut bahwa hadits tersebut adalah hadits yang sangat penting. Hadits tersebut mencakup semua tata aturan aktifitas dzahir maupun bathin. Semua ilmu syari’ah dikembalikan kepada hadits tersebut.[2] Dalam Hadits tersebut ulama menyebut bahwa Agama Islam dibangun atas tiga pondasi, yakni: Islam, Iman, dan Ihsan yang juga sering disebut dengan Syariah, Aqidah, dan Akhlak.[3]
Terkait dengan nomenklatur “Syariah” yang melekat pada lembaga perbankan syariah di Indonesia, banyak kalangan menuduh bahwa penggunaan nomenklatur “syariah” tersebut belum tepat jika dilihat dari sisi prakteknya. Beberapa pihak yang menuduh bahwa penggunaan nomenklatur “syariah” tersebut belum tepat dengan alasan yang antara lain menyebutkan bahwa bank syariah yang ada sekarang ini terlihat hanya dijadikan sebagai lembaga pencari untung oleh para stake holders. Meminjam istilahnya Gus Mus, bank syariah telah menjadi ghayah (tujuan), bukan wasilah (media) dalam rangka mengabdi kepada Allah dan RasulNYA.
Berkaitan dengan hal ini, syaikh Mahmud Syaltut dengan merujuk hadits Jibril berpendapat bahwa syariah, aqidah, dan akhlak adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Sehingga, semestinya semua pihak yang berkaitan dengan lembaga perbankan syariah tidak hanya memperhatikan syariah sebagai tata aturan fikih muamalah semata, tetapi seyogyanya mereka juga memperhatikan sisi aqidah dan akhlak sebagai dua hal yang tidak terpisahkan dari syariah itu sendiri.
Makalah ini bermaksud mengupas sedikit tentang dimensi aqidah dalam operasional bank syariah di Indonesia.

B.  Aqidah, syariah, dan akhlaq
1.    Pengertian
Aqidah Secara etimologi berarti: ikatan, janji. Sedangkan menurut terminologi, aqidah berarti sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya yang membuat jiwa tenang dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keragu-raguan.[4] Syaikh Mahmud Syaltut, seorang pemikir dan mantan menteri agama Mesir pada tahun 1960-an mendefinisikan aqidah sebagai cara pandang (al janib al nadzary) yang dituntut oleh Iman untuk pertama kali dan sebelum apapun dengan kepercayaan yang tanpa keraguan.[5]
Sedangkan syariah menurut secara etimologi bisa diartikan dengan jalan atau aturan. Adapun menurut terminologi, syariah berarti norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (melalui ibadah), hubungan manusia dengan manusia (melalui mu’amalah), dan hubungan manusia dengan alam semesta.[6]
Syaikh Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah dengan tata aturan (al nidzam) atau pokok-pokok aturan (al ushul) yang dibuat oleh Allah untuk digunakan oleh manusia dalam hubungannya (alalaqah) dengan Tuhannya, dengan saudara-saudaranya sesama muslim, dengan saudara-saudaranya sesama manusia, dengan benda-benda mati (al sukun), dan dengan benda-benda hidup (al hayah).[7]
Adapun Akhlak secara substansial sama dengan etika, yaitu ajaran tentang baik dan buruk perilaku manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam. Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji atau tercela menyangkut perilaku manusia yang meliputi perkataan, pikiran dan perbuatan manusia lahir batin. Akhlak secara substansial adalah sifat hati, bisa baik bisa buruk, yang tercermin dalam perilaku. Jika sifat hatinya baik, yang muncul adalah perilaku baik (akhlak mahmudah) dan jika sifat hatinya buruk maka yang muncul adalah perilaku yang buruk (akhlak madzmumah).[8]


2.    Keterkaitan antara aqidah, syariah, dan akhlaq
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah; sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.[9]
Jika syari'at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari'at disebut bersama 'aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan 'aqidah (keyakinan).
Kalau seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada Rasul-rasul Utusan Tuhan, Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Dengan demikian, maka 'aqidah dan syari'ah merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan 'aqidah, dan amalan ini yang disebut syari'at. Sehingga iman itu mencakup 'aqidah dan syari'at, karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan.
Adapun mengenai keterkaitan antara ketiga pondasi agama tersebut di atas, Allah SWT dalam QS. Ibrahim: 24-27 memberikan ilustrasi yang sangat menarik. Aqidah, syariah, dan akhlak dalam QS. Ibrahim: 24-27 tersebut diumpamakan seperti hubungan antara akar, batang, dan buah (kasyajaratin thayyibah).[10]

öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ   þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøŒÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎŽôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcr㍞2xtGtƒ ÇËÎÈ   ã@sVtBur >pyJÎ=x. 7psWÎ7yz >otyft±x. >psVÎ6yz ôM¨VçGô_$# `ÏB É-öqsù ÇÚöF{$# $tB $ygs9 `ÏB 9#ts% ÇËÏÈ   àMÎm6sVムª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ÉAöqs)ø9$$Î/ ÏMÎ/$¨V9$# Îû Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# Îûur ÍotÅzFy$# ( @ÅÒãƒur ª!$# šúüÏJÎ=»©à9$# 4 ã@yèøÿtƒur ª!$# $tB âä!$t±tƒ ÇËÐÈ  
(24). tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (25). pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(26). dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (27). Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (QS. Ibrahim: 24-27).
Sejalan dengan keterkaitan yang sangat erat antara Syariah, Aqidah, dan akhlak sebagaimana dalam QS. Ibrahim: 24-27 tersebut di atas, kiranya perlu kita renungkan bersama perkataan Ustadz Abul A’la al Maududi, seorang cendekiawan muslim besar dari India dalam satu kesempatan: “Sesungguhnya Islam hari ini sangat membutuhkan syahadat praksis kita setelah sebelumnya kita bersyahadat verbal”.[11] Dari sini dapat dipahami bahwa sejatinya Syariah, Aqidah, dan akhlak merupakan 3 unsur dalam satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya.  Apabila salah satu dari 3 unsur tersebut tidak ada, maka 2 unsur lainnya seperti tiada artinya.

C.  Dinamika Bank Syariah di Indonesia
1.    Bank syariah sebagai lembaga bisnis
Bagaimanapun juga, bank syariah adalah lembaga bisnis yang dituntut untuk mampu mendapatkan laba dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai syariah yang universal. Maksudnya, bank syariah akan mempertimbangkan aspek bisnis yang menguntungkan dan aman dalam memberikan pembiayaan.[12]

2.    Bank syariah belum bebas bunga
Prof. Anton Athoilah dalam sebuah artikel yang diterbitkan Middle-East Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013. menyimpulkan bahwa ternyata Bank Syariah masih belum bisa dikatakan bank yang bebas bunga. Ia mengatakan bahwa:

“The Islamic banks clearly do not erase ‘interest’ from their transactions, but hide it in many pseudonyms and terms. There is no convincing argument that the Islamic economists have developed financing methods that are proven free from interest and at the same time can become the foundation of modern banking system. Therefore, perhaps this is the right time to realistically look again upon usury.”

Bank syariah hanya menyembunyikan interest (bunga) dalam istilah-istilah yang baru. Menurutnya, belum ada argumen yang cukup meyakinkan bahwa ekonomi Islam telah meningkatkan metode pembiayaan yang terbukti telah terbebas dari bunga, yang pada waktu yang sama juga bisa menjadi pelopor sistem perbankan modern.

3.    Bank syariah untuk mensejahterakan masyarakat atau hanya profit oriented
Tulisan Prof. Anton Athoillah dalam Middle-East Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013  selain membuktikan bahwa Bank syariah belum bebas bunga, ternyata ditemukan juga bahwa bank syariah hingga saat ini belum bisa meneyelaraskan dengan tujuan luhur diturunkannya syariah islam, yakni sebagai rahmah lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi semesta). Prof. Anton mengajukan bukti factual yang tergambar dalam angka-angka statistic sebagai dasar argumennya ini.
Menurutnya, bank syariah yang ada saat ini masih berkutat hanya memikirkan eksistensi dan keuntungan lembaga, belum menyentuh misi mensejahterakan sosial dan lebih humanis (more humanely) sebagaimana  tujuan luhur syariah Islam sebagai rahmah lil ‘alamin. Dalam kesimpulannya, Ia menulis: [13]

“In banking, it is not sufficient to label Islamic and shariah to a certain bank and the bank is wholly Islamic. Banks, whether Islamic or not, should operate more humanely, be able to give people access to resources with humane requirements and with decent cost.”.
Menurut data numerik, jauhnya bank syariah dari tujuan luhur syariah Islam sebagai rahmah lil ‘alamin dapat dilihat dari data statistic dan tabel berikut:
Pada tahun 2011 jumlah BUS (Bank Umum Syariah) ada 11 unit, tahun 2015 menjadi 12 unit. Jumlah BPRS pada tahun 2011 adalah 155 unit, menjadi 161 unit pada tahun 2015. Total kantor Bank syariah pada tahun 2011 berjumlah 2.101 unit, menjadi 2.880 pada tahun 2015. Laba bersih setelah dikurangi pajak (EAT) pada tahun 2011 adalah 239 M menjadi 1, 317 T pada tahun 2015.[14]

Table VI: Type of Financing[15]
No.
Akad
Persentase financing tahun 2011
Persentase financing tahun 2015
1
Mudarabah  
11.80 %
7.31 %
2
Musharakah  
20.18 %
26.50 %
3
Murabahah  
55.05 %
57.76 %
4
Salam
0 0 %
0.0 %
5
Istishna  
0.44 %
0.33 %
6
Ijarah
3.46 %
5.67 %
7
Qard  
9.05 %
2.42 %
8
Others
0 0 %
0.0 %

Dari data statistik dan tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa: dari tahun 2011 hingga tahun perkembangan bank syariah dari sisi aset dan laba bersih (EAT) mengalami peningkatan yang luar biasa. Hanya saja, yang patut disayangkan adalah ternyata perkembangan pada aset dan EAT tersebut tidak diiringi dengan meningkatnya pelayanan kemapa umat. Terlihat, dari sisi financing bank syariah sepertinya lebih tertarik untuk menyalurkan pembeiayaan pada murabahah dan musyarakah dari pada mudlarabah maupun qard. Boleh jadi, hal ini dilakukan bank syariah karena lebih memilih pembiayaan yang profit oriented dari pada yang bernilai social oriented.



4.    Bank syariah sebagai washilah (alat/perantara) atau ghayah (target/tujuan akhir)
Washilah di sini maksudnya adalah alat/perantara. Sedangkan ghayah adalah target / tujuan akhir. Kalimat washilah dan ghayah ini adalah kalimat yang paling sering disampaikan oleh KH. A. Musthafa Bisri (Gus Mus) dalam berbagai kesempatan. Dalam kalimat tersebut ditunjukkan bahwa dunia ini hanya sekedar washilah (alat/perantara), bukan ghayah (tujuan). Namun demikian, menurut Gus Mus, umat Islam dewasa ini banyak yang terjebak pada urusan washilah, disibukkan pada urusan washilah dan lupa dengan ghayah (tujuan) yang sesungguhnya. [16]
Dalam kaitannya dengan bank syariah, umat Islam banyak yang menganggapnya sebagai ghayah (tujuan), padahal ia sebenarnya hanyalah washilah (perantara). Yakni washilah untuk mencapai tujuan diturunkannya ajaran Islam ini yang tak lain adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmah lilalamin).
Ketika bank syariah telah dianggap sebagai ghayah, maka yang akan terjadi adalah seluruh elemen yang terlibat dalam suatu bank syariah hanya berfikir untuk terus mencari cara bagaimana agar tercapai laba bank syariah sebesar-besarnya. Artinya, sebagai tolok ukur tercapainya keberhasilan suatu bank syariah dilihat dari seberapa besar peningkatan labanya, bukan seberapa besar kontribusinya untuk mensejahterakan umat.

D.  Dimensi Aqidah dalam operasional Bank syariah
Apabila pengertian Aqidah merujuk pada faham Ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana yang disusun oleh Imam Abu Hasan al Asy’ary, maka aqidah islam terbagi atas enam bagian, yaitu: Iman kepada Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada utusan-utusan Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadar. Enam bagian ini merujuk pada hadits jibril (hadits ke-2 yang disebut dalam kitab al arba’in al nawawy) dan sering disebut dengan rukun iman yang enam.[17]
a.    Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya kita percaya seyakin-yakinnya bahwa Tuhan itu ada. Ia mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan bahwa Tuhan memiliki sekalian sifat Jamal (keindahan), sifat Jalal (kebesaran), dan sifat kamal (kesempurnaan).[18]
Dalam konteks bank syariah, seyogyanya landasan bertindak dari seluruh elemen yang terlibat dalam operasional bank syariah adalah iman kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa tidak ada lagi yang ditakutkan untuk menjalankan prinsip-prinsip syariah pada bank syariah karena di dalam hati telah tertanam keyakinan yang kuat akan kalimah tauhid “laa ilaaha illa Allah” tiada Tuhan selain Allah. Tiada yang perlu ditakutkan selain Allah, tidak ada yang lebih bisa menjamin hidup selain Allah, dan tidak ada yang boleh lebih dijunjung tinggi kebenarannya selain Allah.   

b.    Iman kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat Allah SWT artinya, mempercayai bahwa ada suatu makhluk halus yang dijadikan dari nur (cahaya) bernama malaikat. Bagaimana hakikat tubuh dari malaikat hanya Tuhan yang lebih tahu, kita serahkan kepada Tuhan, karena tidak diwajibkan untuk mengetahuinya. Yang wajib kita ketahui mengenai malaikat Allah hanya: Malaikat banyaknya tak terhitung. Setiap malaikat mempunyai tugas masing-masing dari Tuhan. Mereka taat kepada Tuhan atas sekalian perintah yang diberikan kepada mereka dan mereka tidak pernah bermaksiat kepadaNYA.[19]
Dalam konteks bank syariah, seyogyanya iman kepada malaikat Allah ini akan selalu mengingatkan bahwa selama ruh masih dikandung badan maka akan terus ada malaikat kiraaman kaatibiin (malaikat yang bertugas mencatat setiap perbuatan manusia) yang selalu menyertai setiap langkah manusia. Dengan demikian, tidak aka nada lagi seseorang maupun kolektif yang berhubungan dengan bank syariah akan coba-coba berbuat curang, kotor, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan prinsip syariah.

c.    Iman kepada kitab-kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT artinya mempercayai adanya kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada rasul-rasulNYA untuk disampaikan kepada umat manusia seluruhnya.[20]
Dengan iman kepada kitab-kitab Allah ini seyogyanya menjadikan semua elemen yang terlibat dengan bank syariah untuk tunduk pada ajaran-ajaran yang ada dalam al Qur’an. Sehingga, yang menjadi petunjuk dalam operasional bank syariah bukan lagi kepentingan pribadi, kelompok, maupun institusi. Melainkan al qur’an sebagai petunjuk dan imam.

d.   Iman kepada Utusan-utusan Allah
Iman kepada utusan-utusan Allah SWT artinya mempercayai sekalian rasul-rasul Allah yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan kitab suci kepada manusia.[21] Dengan iman kepada utusan-utusan Allah ini seyogyanya bisa menjadikan utusan-utusan Allah sebagai tauladan dalam menjalankan bank syariah.

e.    Iman kepada hari Akhir
Iman kepada hari Akhir artinya percaya bahwa hari akhirat aka nada. Hari akhirat itu bermula setelah kita sudah meninggal dunia sampai umat manusia masuk surge atau neraka sesuai amal mereka masing-masing.[22]
Dengan iman kepada utusan-utusan Allah ini mustinya bisa menjadikan semua elemen yang terlibat dengan bank syariah selalu ingat bahwa setelah semua mati aka nada hari perhitungan dan hari pembalasan. Dengan demikian iman kepada hari akhir ini akan menjaga setiap orang berbuat dzalim kepada diri sendiri dan kepada umat Islam.

f.     Iman kepada Qadar Allah
Iman kepada Qadar Allah artinya mempercayai adanya qadha (ketetapan) Tuhan pada azal tentang sesuatu. Barang sesuatu yang akan terjadi semuanya sudah ditentukan Tuhan sebelumnya dalam azal. Manusia wajib yakin seyakin yakinnya bahwa yang terjadi di atas dunia ini semuanya sudah takdir Tuhan. Tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya. Oleh karenanya, dalam rukun iman ke-6 ini ditetapkan bahwa takdir baik dan buruk semuanya dijadikan Tuhan, dan Tuhan berbuat sekehendakNYA.[23]
Dengan iman kepada qadar Allah ini seyogyanya bisa menjadikan penyadaran bagi setiap orang bahwa manusia hanya bisa berusaha, akan tetapi Allah lah yang berkuasa menetapkan taqdirnya kepada semua manusia. Sehingga, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi untuk terus mengawal agar praktek oporasional pada bank syariah selalu selaras dengan kehendak Allah sebagaimana diterangkan dalam ajaranNYA.

E.   Penutup
Sayid Qutub pernah berkata: “Muhammad Bin Abdullah SAW telah meraih kesuksesan saat beliau berhasil menghadirkan fikrah Islam dalam sosok (para sahabat) dan memanifestasikan keimanan mereka kepada Islam dalam bentuk amalan. Saat beliau mencetak puluhan mushaf, ratusan, bahkan ribuan; namun beliau tidak mencetaknya dalam wujud tulisan tinta di atas kertas melainkan mencetaknya dalam wujud tulisan cahaya di atas lembaran hati. Interaksi di antara mereka, segala aktivitas dan ucapan mereka adalah realisasi Islam yang dibawa oleh Muhammad Bin Abdullah SAW dari sisi Allah Jalla wa ‘Ala”[24]
Dalam kaitannya dengan bank syariah, saatnya kini umat islam baik yang berposisi sebagai praktisi perbankan syariah, akademisi, maupun pemegang otoritas legislasi dalam penyusunan peraturan mengenai perbankan syariah agar selalu menjaga aqidah masing-masing. Aqidah yang bersih, murni, dan terjauhkan dari penyembahan terhadap berhala-berhala modern yang mewujud dalam bentuk harta, tahta, maupun kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya. Wallahu a’lam bi al shawab








DAFTAR PUSTAKA

al Id, Ibn Daqiq. Syarh al Arba’in haditsan al Nawawiyah. Makkah al Mukarramah: al Maktabah al Faisholihah, tt.
al Mishri, Mahmud. Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak Seorang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadlu’, dan Malu, Terj. Ust. Imtihan Asy-Syafi’I. Solo: Pustaka Arafah, 2007.
M. Anton Athoillah and Sofyan Al-Hakim, Reinterpreting the Ratio legis of the Prohibition of Usury, Middle-East Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013
Labibah Zain dan Lathifah Muluk, Gus Mus; Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta: LKIS, 2009.
KH. Sirajuddin Abbas. I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 1995.
Syaltut, Mahmud. Al Islam Aqidah Wa Syariah. Cet. 18., Kairo: Dar al Syauq, 2001.
Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi. Jakarta: PT. Grasindo, 1987.
Yadi Saiful Hidayat, Merindukanmu Wahai Muhammad!; Buatlah Nabimu Begitu Spesial Di Hatimu. Bandung: Mizan, 2007.
Yusak Laksmana, Tanya Jawab; Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan Di Bank Syariah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009.



[1] Ibn Daqiq al Id, Syarh al Arba’in haditsan al Nawawiyah (Makkah al Mukarramah: al Maktabah al Faisholihah, tt), hlm. 13.
[2] Ibid., hlm. 14.
[3]Yadi Saiful Hidayat, Merindukanmu Wahai Muhammad!; Buatlah Nabimu Begitu Spesial Di Hatimu (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 88.
[4] Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. Grasindo, 1987), hlm. 19.
[5] Syaikh Mahmud Syaltut, Al Islam Aqidah Wa Syariah (Kairo: Dar al Syauq, 2001), Cet. 18, hlm. 11.
[6] Wahyuddin, dkk., Op.Cit., hlm. 19.
[7] Ibid., hlm. 12.
[8] Ibid., hlm. 52.
[9] Syaikh Mahmud Syaltut, Op.Cit., hlm. 11.
[10] Ibid., hlm. 20.
[11] Mahmud al Mishri, Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak Seorang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadlu’, dan Malu, Terj. Ust. Imtihan Asy-Syafi’I (Solo: Pustaka Arafah, 2007),, hlm. 85.
[12] Yusak Laksmana, Tanya Jawab; Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan Di Bank Syariah (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009), hlm. 4.
[13] M. Anton Athoillah and Sofyan Al-Hakim, Reinterpreting the Ratio legis of the Prohibition of Usury, Middle-East Journal of Scientific Research 14 (10): 1390-1400, 2013
[15] Ibid., akses 22 september 2016 pukul 22:30.
[16] Labibah Zain dan Lathifah Muluk, Gus Mus; Satu Rumah Seribu Pintu (Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 210 – 211.
[17] KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 1995) hlm. 27.
[18]Ibid., hlm. 28.
[19] Ibid., hlm. 41-42.
[20] Ibid., hlm. 48.
[21] Ibid., hlm. 52.
[22] Ibid., hlm. 70.
[23] Ibid., hlm. 75-76.
[24] Mahmud al Mishri, Op.Cit, hlm. 86.

Comments

Popular posts from this blog

متن نظم هداية الصبيان في تجويد قراءة القرآن

Ijazah Wirid dari Syaikh Muhammad Abd Rabb al Nadhzari