Praktik Hiwalah dan Anjak Piutang syariah di Perbankan Syariah
A.
Pendahuluan
Anjak piutang (factoring) yang berdasarkan prinsip syariah
sering dianggap sama dengan hiwalah dalam konsep fiqih islam. Yadi
Janwari menyamakan anjak piutang dengan hiwalah ini karena menurutnya ada
kemiripan dalam praktek operasionalnya. Ia mendefinisikan anjak piutang (factoring)
syariah sebagai salah satu produk bank syariah dimana nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu. Akad
hiwalah yang digunakan adalah akad hiwalah bil ujrah, yang
berarti pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayarnya).[1]
Akan tetapi, jika melihat fatwa DSN-MUI No. 67 tahun 2008 tentang
anjak piutang syariah, ditegaskan bahwa akad yang dapat digunakan dalam anjak
piutang syariah adalah akad wakalah bil ujrah,
bukan hiwalah. Sedangkan akad hiwalah sebagaimana disebutkan
dalam Surat Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 menjadi salah
satu produk jasa tersendiri pada perbankan syariah.
Dengan
membaca fatwa DSN-MUI No. 67 tahun 2008 tentang anjak piutang syariah dan
Surat Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 kemudian setidaknya
muncul pertanyaan mendasar: pertama, mengapa dalam anjak piutang syariah
digunakan akad wakalah bil ujrah?, kedua, mengapa
hiwalah menjadi produk tersendiri?
Berdasarkan latar
belakang tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai
perbedaan konsep anjak piutang syariah sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI No. 67 tahun 2008 dan konsep hiwalah sebagaimana
disebutkan dalam Surat Edaran BI
No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008.
B.
Konsep
Dasar Hiwalah (الحوالة)
1.
Pengertian
Dalam beberapa literature fikih ada yang menyebut hiwalah
(بكسر الحاء) dan ada pula yang
menyebut hawalah (بفتح الحاء).[2] Hiwalah secara bahasa berarti al intiqal
(memindahkan) dan al tahwil (mengalihkan). Menurut al Juzairy, sebagaimana
dikutip Yadi Janwari hiwalah secara bahasa berarti: النقل من محل الى محل
(pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain). Adapun secara terminology, hiwalah
dimaknai secara variatif oleh para fuqaha.
Menurut Hanafiyah, hiwalah adalah memindahkan tagihan dari
tanggungjawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggungjawab kewajiban
pula. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’I, dan Hanbali hiwalah dimaknai sebagai
pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak
kepada pihak yang lain.[3] Wiroso secara sederhana mendefinisikan wakalah sebagai akad
pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayarnya). [4]
2.
Syarat
dan rukun
a)
Muhil
Yaitu
orang yang berhutang (madin) kepada muhtal (da’in) dan mengalihkan hak tagih
piutangnya kepada muhal ‘alaih. Muhil ini disyaratkan harus ahli al tasharruf,
sebab akad hiwalah termasuk akad tasharruf harta.
b)
Muhtal/muhal/hawil
Yaitu
pihak yang memberi pinjaman hutang (da’in) kepada muhil dan yang berpindah hak
tagihnya dari tanggungan muhil ke tanggungan muhal ‘alaih. Muhtal ini juga
disyaratkan harus ahli tasharruf.
c)
Muhal ‘alaih/muhtal ‘alaih
Yaitu
pihak yang berhutang (madin) kepada muhil, dan yang bertanggungjawab membayari
hutang muhil kepada muhtal.
d)
Dainani/muhal
bih
Yaitu
dua hutang yang di-hiwalah-kan (dialihkan)
e)
Shighah
Yaitu
ikrar serah terima antara pihak-pihak yang terkait dalam akad hiwalah.
a)
Kerelaan
(ridla) dari muhil, indikasinya adalah permintaan dari muhil
kepada muhal ‘alaih agar dibayarkan/ditanggung hutangnya kepada muhal.
Tidak sah akad hiwalah bagi muhil yang tidak memiliki hutang.
b)
Persetujuan
dari muhal (qabul al muhal) karena muhal
adalah orang yang yang memiliki hak atas hutang.
c)
Adanya
hak (kaun al haqq) yang tetap pada muhal, yaitu hak
muhal atas piutang yang ada pada muhil. Selain itu, hutang
tersebut juga meruapakan utang yang lazim, artinya bahwa utang
tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan[7].
d)
Kesesuaian/kesamaan
hutang yang menjadi tanggungan muhil dan muhal ‘alaih. Sesuai
dalam jenisnya, kadar/ukurannya,
macamnya, serta sistem cash dan kredit (angsuran)nya.
3.
Bentuk-bentuk
akad hiwalah
Dalam
fatwa DSN MUI NO: 58/DSN-MUI/V/2007 tentang hawalah bil ujrah
membagi hiwalah dalam dua bentuk, yakni:
a)
Hawalah
muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah
orang yang berhutang sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana
dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
b)
Hawalah
muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang
yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih;
4.
Ilustrasi
skema akad hiwalah berdasarkan Surat Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS
tanggal 17 Maret 2008
a)
Hawalah
muqayyadah
Bank Syariah
1
3
Nasabah 3
Suplier
|
2
Keterangan:
1.
Nasabah memiliki
tabungan di Bank Syariah. Artinya, Bank Syariah memiliki kewajiban (hutang)
untuk dibayarkan kepada nasabah.
2.
Nasabah membeli
suatu barang secara kredit kepada supplier. Artinya, nasabah memiliki kewajiban
(hutang) untuk dibayarkan kepada supplier.
3.
Nasabah menunjuk
Bank syariah untuk membayarkan angsuran hutangnya kepada suplier
b)
Hawalah
muthlaqah
Bank Syariah
2
3
Nasabah 4
Kontraktor
|
1
Keterangan:
1.
Nasabah
(muhil) membeli rumah kepada kepada kontraktor. Artinya, nasabah memiliki
kewajiban (hutang) kepada kontraktor..
2.
Nasabah
mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk membayarkan kewajiban (hutang)
tersebut kepada kontraktor dan nasabah berjanji akan mebayar hutang tersebut
sesuai sistem pembayaran yang ditentukan
3.
Bank
syariah membayar kewajiban (hutang) nasabah kepada kontraktor. Di sini bank syariah
berhak mengambil ujrah dari jasa hiwalahnya (hiwalah bil ujrah).
4.
Bank
syariah menagih hutang kepada nasabah sesuai skema pembayaran yang disepakati
antara nasabah dan bank syariah.
4.
Ketentuan
tentang hiwalah dalam fatwa DSN NO: 12/DSN-MUI/IV/2000
tentang Hiwalah
a)
Rukun
hawalah adalah muhil (المحيل ), yakni orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang, muhal atau muhtal ( المحال ), yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal
‘alaih (المحال عليه ), yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib
membayar utang kepada muhtal, muhal bih (المحال
به ), yakni utang muhil kepada
muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
b)
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad).
c)
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
d)
Hawalah
dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
e)
Kedudukan
dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
f)
Jika
transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal
dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
5.
Beberapa
Alternatif Aplikasi Akad Hiwalah Dalam Perbankan Syariah
Dalam fatwa DSN Nomor:
31/DSN-MUI/VI/2002 tentang pengalihan utang terdapat beberapa 4 alternatif,
antara lain:
a)
Alternatif
1
Ø LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut
nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli
dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh ( .(الملك
التام
Ø Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
Ø LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya
tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Ø Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN
nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan
Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.
b)
Alternatif
2
Ø LKS
membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian,
terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset
tersebut.
Ø Bagian
asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset
yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
Ø LKS
menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Ø Fatwa
DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan
Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternative II ini.
c)
Alternatif
3
Ø Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh الملك التام) ) atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan
LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
Ø Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah
dengan menggunakan prinsip al-Qardhsesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN- MUI/IV/2001.
Ø Akad Ijarah sebagaimana
dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan
sebagaimana dimaksudkan angka 2.
Ø Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak
boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah
sebagaimana dimaksudkan angka 2.
d)
Alternatif
4
Ø LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut
nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli
dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh ( .(الملك
التام
Ø Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
Ø LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada
nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
C.
Konsep
Dasar Anjak Piutang Pada Bank Konvensional
1.
Pengertian
Pengertian anjak piutang (factoring)
dalam Pasal 1 butir 8 Keppres No. 61 Tahun 1988, yaitu badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi
perdagangan dalam atau luar negeri. Dalam peraturan OJK No.
29/POJK.05/2014 Tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan menjelaskan
bahwa anjak piutang (Fatoring) “adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu perusahaan berikut
pengurus atas piutang tersebut.”. Endang
Purwaningsih menyebut bahwa Anjak piutang merupakan termejahan dari
istilah Factoring dalam bahasa Inggris.[8]
Sedangkan pengertian anjak piutang
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 adalah “kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang
atau tagihan angka jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan
dalam atau luar negeri”.[9]
Dalam Menurut Kepmenkeu tersebut
disebutkan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentu: (a) pembelian
atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri serta penatausahaan dan penagihan piutang perusahaan penjual
piutang.
2.
Dasar
Hukum Positif Anjak Piutang
a.
Keppres
No. 61 Tahun 1988
b.
Peraturan OJK No.
29/POJK.05/2014 Tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan
c.
Surat
Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000
d.
Permen Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang perusahaan pembiayaan
3.
Skema
Anjak Piutang
Pada
umumnya kegiatan usaha anjak piutang sering dilakukan dalam bentuk pembelian
tagihan milik klien (supplier). Selanjutnya, proses
kegiatan anjak piutang ini dapat dibedakan dalam bentuk transaksi untuk tagihan
atau account receivable dan promes atau promissory notes.
Bentuk kegiatan anjak piutang (factoring)
adalah pembelian atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka
pendek suatu perusahaan di dalam transaksi dalam atau luar negeri. Kegiatan
tersebut dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, yang disebut factoring agreement.
Perjanjian itu tidak termasuk dalam jenis-jenis perjanjian yang telah dikenal
dalam KUHPerdata.
Meskipun begitu, tidak jadi masalah,
karena hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku Ketiga menganut sistem terbuka. Hal itu
menjelaskan bahwa diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian dengan persyaratan atau isi yang dikehendaki asalkan tidak
bertentangan dengan perundangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Persyaratan
dan isi perjanjian ditentukan sendiri oleh para pihak dan menjadi peraturan
(UU) yang mengikat bagi mereka sendiri (asas pacta sunt servnda) seperti yang
ditetapkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata[10].
4.
Macam-Macam
Bentuk Anjak Piutang
a.
Anjak Piutang untuk Tagihan
Anjak piutang untuk tagihan ini atau
disebut juga account receivable factoring didasarkan pada suatu
transaksi jual beli secara kredit jangka pendek dan menengah yang dijual kepada
perusahaan anjak piutang dengan kontrak pengambil alihan tagihan dari penjual
atau supplier kepada perusahaan anjak piutang. Pengalihan tagihan
tersebut atas persetujuan atau pengetahuan pembeli (customer). Proses
anjak piutang untuk tagihan dapat diikuti pada Gambar berikut:
Keterangan:
1.
Supplier (klien) menjual barang
atau jasa kepada pembeli (customer). Penyerahan barang dengan D/0 yang
ditandatangani pembeli. Asli D/0 kembali kepada supplier.
2.
Karena alasan cashflow, supplier
atau klien kemudian menjual tagihannya kepada perusahaan anjak piutang
atas persetujuan pembeli (customer).
3.
Klien menyerahkan data tagihan, termasuk
faktur-faktur atau D/0 kepada perusahaan anjak piutang.
4.
Kontrak persetujuan dan pengambilatihan
tagihan antara klien dengan perusahaan anjak piutang.
5.
Pembayaran kepada klien atas penjualan
tagihan.
6.
Pada saatjatuh tempo perusahaan anjak
piutang melakukan penagihan kepada pembeli (customer).
7.
Pelunasan utang oleh pembeli.
b.
Proses Anjak Piutang untuk Promes
Transaksi anjak piutang dengan menggunakan
promes atau promissory notes factoring berbeda dengan proses anjak
piutang tagihan. Proses anjak piutang untuk promes melibatkan
pihak lainmisalnya bank dalam mekanisme pembayaran. Transaksi jual beli dilakukan
dengan penerbitan promes oleh pembeli sebagai bukti surat tttang
kepada penjual yang selanjutnya dapat didiskontokan kepada perusahaan anjak
piutang. Proses anjak pitttang untuk promes tersebut dapat diikuti pada Gambar
dibawah ini
Keterangan:
1.
Penjualan barang ataujasa kepada pembeli
secara kredit.
2.
Sebagai bukti utang atas
transaksijual beli, pembeli mengeluarkan promes kemudian diserahkan kepada supplier.
3.
Supplier kemudian meng-endors
promes tersebut kemudian dijual kepada perusahaan anjak piutang secara
diskonto.
4.
Perusahaan anjak piutang membayar promes
atas dasar diskonto.
5.
Setelah jatuh tempo, perusahaan anjak
piutang menyerahkan promes tersebut kepada bank untuk ditagihkan pembayarannya
dari pembeli.
6.
Pembayaran diteruskan oleh bank kepada
perusahaan anjak piutang setelah ditakukan penagihan.
8.
Perbedaan Anjak Piutang Dengan Kredit Bank
Perbedaan anjak piutang dengan kredit bank
antara lain sebagai berikut:
a.
Kredit bank melibatkan praktik-praktik
dalam perkreditan umum termasuk mengenai jaminan. Sedangkan anjak piutang pada
prinsipnya merupakan transaksi jual beli piutang.
b.
Kredit bank dimulai dari timbulnya utang
melalui mobilisasi dana kemudian dialihkan menjadi aktiva produktif.
Sementara anjak piutang berkaitan dengan pengalihan dari suatu aktiva
produktif, yaitu tagihan menjadi kas pada saat jatuh tempo.
c.
Kredit bank memberikan tambahan aktiva
dalam bentuk kas pada debitor. Anjak piutang tidak memberikan tambahan
kas akan tetapi hanya memperlancar arus kas dengan menggunakan
piutang yang belum jatuh tempo.
d.
Kredit bank biasanya dalam jumlah tetap
clan memiliki syarat pelunasan tetap. Sedangkan fasilitas anjak piutang
mengubah penjualan kredit menjadi uang tunai.
e.
Kredit bank hampir selalu dikaitkan dengan
agunan. Sementara bagi anjak piutang agunan bukan merupakan hal mutlak.
f.
Keahlian penisahaan anjak piutang dalam
memelihara atau mengurus pembukuan penjualan klien dan penyediaan informasi
manajemen menjadikan anjak piutang lebih sebagai mitra usaha.
D.
Konsep
Dasar Anjak Piutang Syariah
1.
Pengertian
Pengertian anjak piutang syariah
sebagaimana yang tertulis dalam Fatwa DSN Nomor 67/DSN-MUI/III/2008 Tentang
Anjak Piutang Syariah adalah pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan
jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang kemudian
menagih piutang tersebut kepada yang berutang atau pihak yang ditunjuk oleh
pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.[11]
Menurut Surat Edaran OJK Nomor
36/SEOJK.03/2015 tentang produk dan aktivitas BUS dan UUS Anjak piutang Syariah
didefinisikan sebagai pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan jangka
pendek dari nasabah yang memiliki piutang atau tagihan kepada Bank yang
kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang
ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai Prinsip Syariah.
2.
Dasar
hukum positif anjak piutang syariah
a.
Keppres
No. 61 Tahun 1988
b.
Peraturan OJK
No. 29/POJK.05/2014 Tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan
c.
Surat
Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008
d.
Surat
Edaran Nomor
36/SEOJK.03/2015 tentang produk dan aktivitas BUS dan UUS
e.
Surat
Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000
f.
Permen Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang perusahaan pembiayaan
g.
Fatwa DSN-MUI Nomor: 67/DSN-MUI/III/2008 tentang
Anjak Piutang Syariah
h.
Fatwa DSN-MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang
Qard
i.
Fatwa DSN-MUI Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pengalihan Utang
j.
Fatwa DSN-MUI NO:
79/DSN-MUI/III/2011 tentang Qard dengan menggunakan dana nasabah
k.
Fatwa DSN-MUI NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang
wakalah
l.
Fatwa DSN-MUI Nomor: 56/DSN-MUI/V/2007 tentang
review ujrah pada LKS
3.
Ilustrasi
Skema Anjak Piutang Syariah
Secara ilustratif sebenarnya sama antara anjak piutang syariah dan
anjak piutang pada lembaga keuangan konvensional. Hanya saja subjek-subjek yang
ada dalam kontrak anjak piutang syariah harus dipertegas posisinya. Pada bagan
(halaman 8 dan 9) costumer berposisi sebagai muhil, supplier
sebagai muhal, dan LKS sebagai muhal ‘alaih.
4.
Fatwa
DSN MUI tentang Anjak Piutang Syariah
a.
Akad yang dapat
digunakan dalam Anjak Piutang Secara Syariah adalah Wakalah bil Ujrah.
b.
Pihak yang
berpiutang mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan pengurusan
dokumen-dokumen penjualan kemudian menagih piutang kepada pihak yang berutang
atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
c.
Pihak yang
ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk melakukan penagihan (collection)
kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang
untuk membayar;
d.
Pihak yang
ditunjuk menjadi wakil dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada
pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang;
e.
Atas jasanya
untuk melakukan penagihan piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi wakil
dapat memperoleh ujrah/fee;
f.
Besar ujrah harus
disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam
bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang;
g.
Pembayaran ujrah
dapat diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan dalam akad;
h.
Antara akad Wakalah
bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
E.
Perbedaan
Anjak Piutang Syariah dalam Fatwa DSN Nomor:
67/DSN-MUI/III/2008 dan Anjak Piutang pada perusahaan Lembaga Keuangan
Konvensional
1.
Berbeda
dari definisinya
2.
Anjak
piutang syariah berdasarkan akad wakalah bil ujrah,
sedangkan Anjak Piutang pada perusahaan Lembaga Keuangan
Konvensional berdasarkan dasar perhitungan bunga diskonto
3.
Jika
terjadi sengketa antar pihak yang berkontrak, Anjak piutang syariah diselesaikan
di Peradilan agama atau BASARNAS sedangkan Anjak Piutang di Lembaga keuangan
konvensional diselesaikan di PN
F.
Perbedaan
anjak piutang syariah dalam Fatwa DSN Nomor:
67/DSN-MUI/III/2008 dan Hiwalah dalam Surat
Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008
Beberapa perbedaan anjak piutang dalam Fatwa DSN Nomor:
67/DSN-MUI/III/2008 dan Hiwalah dalam Surat
Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 antara lain:
1.
Berbeda
dari definisinya
2.
Anjak
piutang syariah merupakan kontrak pengalihan piutang beserta pengurusan
piutang, sedangkan hiwalah merupakan kontrak pengalihan hutang tanpa ada
pengurusan piutang.
3.
Anjak
piutang syiriah berdasarkan akad wakalah bil ujrah,
sedangkan hiwalah dalam Surat Edaran BI (SEBI) No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret
2008 berdasarkan akad hawalah bil ujrah
G.
Penutup
Masih banyak ditemukan orang yang menyamakan kontrak anjak piutang
syariah dengan hiwalah. Sehingga, berimplikasi pada kesalahan dalam
memahami sistem operasional dan akad dasarnya. Kesalahan dalam memahami sistem operasional
dan akad dasarnya ini akan berdampak fatal lagi ketika terjadi sengketa antara
pihak-pihak yang berkontrak. Karena, tidak mungkin akan ditemukan putusan yang
tepat jika masih ada kesalah pahaman pada para pihak yang bersengketa.
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
Budi Rachmat, Anjak
Piutang Solusi Cash Flow Problem,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003),
Endang Purwaningsih, 2010, Hukum Bisnis, Bogor: Ghalia
Indonesia
Mardani, 2013, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika
Syaikh Ibrahim
al Bajury, Hasyiyah al Bajuri ‘ala Syarh Abi al Qasim al Ghazzy ‘ala Matn
Abi Syuja’ (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1999)
Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus
Metodologis Konsep Interaksi Sosial Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press)
Wiroso, Produk Perbankan Syariah (Jakarta: LPFE Usakti, 2009)
Yadi Janwari, fikih Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2015),
[1] Yadi Janwari, fikih
Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 141.
[2] Syaikh Ibrahim
al Bajury, Hasyiyah al Bajuri ‘ala Syarh Abi al Qasim al Ghazzy ‘ala Matn
Abi Syuja’ (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1999), hlm. 720.
[3] Yadi Janwari, Op.
Cit. hlm. 136.
[4] Wiroso, Produk
Perbankan Syariah (Jakarta: LPFE Usakti, 2009), hlm.
[5] Tim Laskar
pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah; Diskursus Metodologis Konsep Interaksi
Sosial Ekonomi (Kediri: Lirboyo Press), hlm. 158-163.
[6] Syaikh Ibrahim
al Bajury, Op. Cit.,hlm. 721-725.
[7] Yadi Janwari.,
Op. Cit., hlm. 137-138.
[8] Endang
Purwaningsih, Hukum Bisnis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 13.
[9] Budi Rachmat, Anjak
Piutang Solusi Cash Flow Problem,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003), hlm. 2-3.
[10] Endang
Purwaningsih, 2010, Hukum Bisnis, Bogor: Ghalia Indonesia, Hlm. 14.
[11] Mardani, 2013,
Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 217.
Comments
Post a Comment