Kaidah Fikih dalam Majallah al ahkam al 'adliyah

Materi 56
البقاء  أسهل من الإبتداء
“Tetap (melanjutkan) lebih mudah dari pada permulaannya”

Sebagian dari hal yang tetap (melanjutkan) lebih mudah dari pada permulaannya yang mana boleh pada permulaannya terkadang boleh pada kelanjutannya adalah seperti: bagi seseorang (yang termasuk bagian dalam satu kemitraan) boleh menyewakan bagian kepemilikannya (hisshah) kepada mitra yang lain, akan tetapi tidak boleh menyewakan hisshah-nya tersebut kepada salah satu dari mitra-mitranya  (mitranya lebih dari satu) atau menyewakan kepada orang asing. Adapun apabila seseorang menyewakan seluruh rumah miliknya kemudian setelah terjadi akad ijarah muncul pemilik sebagian dari rumah tersebut dan menetapkan kepemilikan atas sebagian dari rumah tersebut maka akad ijarah pada sebagian rumah tidak rusak, sedangkan sisa sebagiannya lagi sah walaupun pada awalnya tidak boleh. Begitu juga apabila seorang hakim menunjuk seorang pengganti yang tidak diizinkan dalam hukum maka penunjukkan itu tidak sah, dan hukum-hukum (keputusan-keputusan) yang dikeluarkan oleh hakim pengganti tersebut tidak bisa diterima (ghair al mu’tabarah). Akan tetapi, apabila hakim pengganti tersebut memutuskan suatu hukum dan hakim yang digantikannya memperbolehkan/menyetujui (keputusan hukum) tersebut maka keputusan hukum tersebut menjadi dapat diterima (mu’tabar) dan sah. Si hakim pengganti di sini boleh berposisi sebagai penerus juga walaupun tidak diperbolehkan pada permulaannya.


Materi 57
لا يتمّ التبرّع إلّا بقبض
“Tidak sempurna akad tabarru’ (tolong-menolong) kecuali dengan penyerahan”.

Kaidah ini diambil dari sebuah hadits yang mengatakan: “tidak diperbolehkan Hibbah kecuali diserahkan”. Hal ini karena apabila akad hibbah bisa sempurna tanpa adanya penyerahan maka si pemberi hibbah (wahib) pada waktu yang sama menjadi pemaksa atas penunaian sesuatu yang mana dia bukanlah (orang yang berhak) menjadi pemaksa atas penunaian sesuatu tersebut. Hal itu bertentangan dengan spirit tabarru’, dimana tabarru’ adalah memberikan sesuatu yang tidak wajib untuk diberikan, ia hanya sebagai suatu kebaikan dari si pemberi. Contoh: jika seseorang memberikan suatu harta benda kepada orang lain, maka apa yang belum diserahkan dengan izin dari si pemberi tidak boleh dibelanjakan. Begitu juga jika seorang memutuskan –setelah mengeluarkan uang untuk memberikannya kepada seorang faqir sedangkan dia belum menyerahkan kepada (si faqir) tersebut-,  tentang (realisasi) pemberiannya kepada si faqir itu tidak ada yang (boleh) memaksanya.
Dengan demikian, akad hibbah baik itu dengan penggantian atau dengan syarat penggantian maka sempurnanya tergantung pada penyerahan. Akan tetapi karena wasiat merupakan  kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan setelah kematian maka ia tidak terhenti dengan penyerahan, umumnya bagi ahli waris ada orang yang menginginkan wafatnya pewaris yang mana ia sendiri yang memiliki hak tabarru’nya kembali (ruju’).
Akad tabarru’ adalah akad yang ditujukan untuk kepentingan kebajikan, yang semata-mata mengharap pahala dari Allah SWT. Dalam literatur fiqh beberapa akad yang masuk dalam kelompok akad tabarru’ adalah hibah, shadaqah, hadiah dan infaq. Ada panduan moral yang harus diperhatikan dalam melaksanakan akad tabarru’ yaitu tentang keikhlasan. Apabila seseorang yang akan menghibahkan barang menarik kembali niatnya sebelum barang diserah terimakan, maka akad tersebut menjadi batal. Demikian juga, tidak boleh seseorang yang telah menyerahkan barang atas nama tabarru’ dan kemudian dia menarik kembali.
Contoh dari kaidah fiqhiyah ini berlaku dalam asuransi syari’ah pada umumnya. Dalam asuransi  berlaku akad riil. Dimana seharusnya terjadinya akad tabarru’ dalam asuransi didasarkan atas berlangsungnya penyerahan obyek akad kepada orang yang dituju. Sebelum terjadi penyerahan obyek, maka belum muncul akibat hukum dari akad ini. Hal ini berarti bahwa dalam asuransi syari’ah yang memakai akad tabarru’ harus didasarkan atas penyerahan sejumlah dana dari para peserta asuransi kepada tertanggung.


Materi 58
التصرف على الرعية منوط بالمصلحة
“Tindakan (pemimpin) atas rakyat harus dikaitkan dengan mashlahah (kebaikan rakyat)”

Kaidah ini diambil dari kaidah: “tindakan seorang hakim dalam hal harta manusia dan wakaf-wakaf yang ada dalam lingkup pekerjaannya (si hakim)  ditentukan atas dasar mashlahah”. Yakni, tindakan pemimpin atas rakyatnya harus dibangun atas dasar mashlahah, apabila tidak demikian maka tindakan pemimpin tersebut tidak benar.
Yang dimaksud rakyat di sini adalah umumnya manusia yang berada di bawah kekuasaan/wewenang seorang wali (penguasa). Contohnya: ketika tidak ditemukan wali dari seorang yang terbunuh maka raja (sultan) menjadi walinya. Sebagaimana ia memiliki hak untuk menuntut qishas  dari si pembunuh, ia juga berhak menerima diyat sebagai penggganti dari qishas.
Lapangan pelaksanaan kaidah ini adalah dalam bidang-bidang  yang  menyangkut  bidang pemerintahan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat,  sehingga  memberikan  pengertian  bahwa setiap tindakan atau  kebijaksanaan  yang menyangkut dan mengenai hak-hak  rakyat  harus dikaitkan dengan  kemaslahatan  rakyat  banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan.  Dengan demikian  tindakan  penguasa  yang hanya  sekedar  menuruti  hawa  nafsu serta kesenangan  sendiri dan tidak  membawa  kebaikan  pada rakyat  adalah  tidak  dibenarkan.

Materi 59
الولاية الخاصة أقوى من الولاية العامة
“Penguasaan (wilayah) khusus lebih kuat dari pada penguasaan umum”

Yang dimaksud dengan “wilayah” di sisni adalah sahnya putusan seorang wali pada hak orang lain, baik suka atau tidak suka.
Seorang wali adalah orang yang berhak mempergunakan hak atau harta orang lain tanpa harus mendapatkan izin dari yang punya harta. Hal ini berbeda dengan wakil, karena seorang wakil melakukan sesuatu dengan seizin dan ridho dari pemilik harta.
Misalnya, seorang qadli menyewakan tanah wakaf, dan orang yang bertanggungjawab atas tanah wakaf tersebut menyewakan pula, maka yang dianggap sah adalah penyewaan orang yang bertanggungjawab atas wakaf tersebut, sedangkan penyewaan dari qadli tidak dianggap. Karena penguasaan (wilayah) khusus lebih kuat dari pada penguasaan umum. Orang yang memiliki Penguasaan (wilayah) umum tidak berhak membelanjakan harta wakaf selagi masih ada orang yang memiliki (wilayah) khusus sekalipun sang qadli adalah orang yang mengangkat orang yang memiliki (wilayah) khusus tersebut.

Materi 60
إعمال الكلام أولى من إهماله
“Memberlakukan (makna) ucapan lebih utama dari pada membiarkannya”


Kaidah ini diambil dari kitab Asybah dengan gambaran sebagai berikut: “memberlakukan (makna) ucapan lebih utama dari pada membiarkannya jika memang mungkin, jika tidak mungkin maka dibiarkan”. Maksudnya, tidak boleh membiarkan sebuah ucapan dengan pertimbangan tidak ada maknanya, selagi memang masih diartikan secara hakiki atau majaz. Dan bahwa dasar dari sebuah ucapan adalah makna hakikatnya yang diambil. Bukan makna majaz selagi memang masih bisa diambil makna hakikatnya.

Adapun sebuah ucapan yang dikehendaki maknanya terkadang memungkinkan makna ta’sis (makna asal) atau makna ta’kid (penguatan). Misalnya, jika seorang suami mentalak istrinya dengan mengucapkan kata talak tiga kali, maka jatuhlah tiga talak tersebut. Dan jika suami tersebut mengatakan bahwa ia mengucapkan tiga kali talak dengan tujuan penguatan perkataannya ini tidak dianggap karena yang lebih diutamakan adalah makna asalnya (ta’sis).

Comments

Popular posts from this blog

متن نظم هداية الصبيان في تجويد قراءة القرآن

Ijazah Wirid dari Syaikh Muhammad Abd Rabb al Nadhzari