Hukum Ekonomi Syariah
Pemikiran Ekonomi Islam al Ghazali
A. Pendahuluan
Benarlah pernyataan yang diucapkan Munawir
Sjadzali ketika mengawali pemabahasan tentang profil Imam al Ghazali. Siapa di
antara umat Islam yang tidak kenal nama Abu Hamid al Ghazali, seorang teolog
terkemuka, ahli hukum, pemikir yang original, ahli tasawuf terkenal, dan yang
mendapatkan julukan Hujjah al Islam.[1] Semua kaum cerdik cendekia pasti
mengenal namanya.
Melalui karya-karyanya, banyak yang mengenal
sang Hujjah al Islam hanya sebagai ahli tasawuf, filsafat dan hukum.
Namun ternyata, setelah penulis membaca beberapa buku sejarah perjalanan hidup sang
Hujjah al Islam ini, membaca beberapa karya-karyanya, disandingkan
dengan telaah atas situasi ekonomi dan politik ketika beliau hidup, penulis
mendapati al Ghazali bukan hanya sebagai ahli tasawuf, filsafat dan hukum,
tetapi juga sebagai ahli ekonomi.
Sepintas lalu memang beberapa karya beliau sepertinya
hanya membahas tentang masalah-masalah keagamaan, namun ternyata, beberapa
karya beliau yang sepertinya hanya membahas tentang masalah-masalah keagamaan tersebut
–menurut dugaan kuat penulis- merupakan sumbangsih pemikiran beliau dalam ikut
mengatasi resesi ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Dugaan penulis ini
didasari setidaknya oleh 2 kenyataan penting.
Pertama, sebagaimana al Qur’an yang turun berkaitan
erat dengan asbab al nuzul yang menyertainya, menurut dugaan penulis
beberapa karya al Ghazali juga berkaitan dengan konteks sosial dan ekonomi pada
saat itu. Karena jika dibaca lagi sejarah pada masa-masa penulisan karya-karya
beliau, terlihat adanya hubungan yang sangat erat antara karya-karyanya dengan konteks
sosial dan ekonomi pada saat itu. (boleh jadi), beberapa karya beliau memang
didedikasikan untuk itu.
Kedua, al Ghazali terkenal sebagai pendukung terdepan
terhadap konsep mashlahah yang telah dipelopori oleh gurunya, Imam al
Juwaini. Menurut al Ghazali, Mashlahah adalah salah satu sumber hukum
islam yang sah sebagai dasar istinbat al hukm. Dengan konsep mashlahah
yang telah dinyatakan keabsahannya oleh al Ghazali ini, hukum islam menjadi
terlihat tidak kaku lagi tapi lebih lentur dan allowable terhadap
permasalahan-permasalahan sosial. Hukum islam yang tadinya terkesan hanya
sebagai tata aturan yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah SWT) dan harus
dilaksanakan oleh manusia sebagaimana adanya tanpa harus mempertimbangkan kemashlahatan
dalam pandangan manusia, dengan adanya konsep mashlahah ini hukum islam menjadi
lebih akomodatif terhadap keinginan-keinginan baik manusia di setiap masanya.
Berkaitan dengan anggapan bahwa al Ghazali hanyalah
sebagian dari para pemikir apatis yang lebih mementingkan kehidupan
sufistik dari pada mencarikan solusi atas semua problematika sosial, -boleh
jadi- orang yang berpandangan seperti itu perlu lebih banyak lagi mengkaji
karya-karya beliau dengan membacanya dari sudut pandang ekonomi, politik,
keamanan, maupun dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial yang lain. Dengan seperti
itu maka akan didapati bahwa al Ghazali bukanlah seorang pemikir yang hanya berdiri
di atas menara gading dengan pemikiran-pemikirannya yang tidak menapak bumi,
akan tetapi beliau adalah seorang pemikir yang sangat peduli dengan keadaan
masyarakat pada zaman di mana beliau hidup.
Untuk itu, hal yang bijak bagi para pewaris
karya-karya ilmiah para pemikir masa lalu adalah tidak hanya menjadikannya
sebagai warisan sejarah saja, akan tetapi, yang lebih penting dari itu adalah
menjadikan warisan-warisan sejarah tersebut untuk kebaikan di masa sekarang dan
akan datang. Sebagaimana hal ini telah banyak dilakukan oleh para pengkaji al
Qur’an kontemporer yang memandang teks masa lalu sebagai pijakan untuk
melakukan pembacaan ulang dengan konteks masa kini.[2]
Makalah ini mencoba mengurai sedikit tentang
pemikiran ekonomi dan hukum Hujjah al Islam Abu Hamid al Ghazali dengan
mengaitkannya dengan keadaan ekonomi dan politik pada masa kehidupannya.
B. Sekilas
Biografi al Ghazali
1. Perjalanan (rihlah) ilmiyah
Imam al Ghazali bernama asli
Zainudin Abu Hamid Muhamad bin Muhamad al Ghazali al Thusi al Syafi’i. al
Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus, Profinsi Khurasan,
Persia, Iran. Ayah beliau adalah seorang yang faqir, bekerja sebagai pemintal (ghazl)
bulu domba dan menjualnya di toko di pasar. Nama al Ghazali dinisbahkan kepada
pekerjaan memintal (ghazl) ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata al Ghazaly dinisbahkan kepada ghazalah,
sebuah desa di kota Thus. Beliau adalah anak dari seorang ayah yang bertaqwa
dan wara’, yang condong kepada para fuqaha dan senang menghadiri
majlis-majlis mereka.[3]
Imam al Ghazali memulai
pendidikannya di kota Thus, kemudian ke Jurjan, dan kemudian pindah ke Naisabur
pada tahun 470 H, bertemu dengan Imam al Juwainy yang masyhur dengan sebutan
imam alharamain, berguru kepadanya hingga wafatnya sang guru. Beliau belajar
fiqih dan ikhtilaf madzhab-madzhab, mempelajari
ilmu debat dan mantiq (logika) sebagaimana para filosof, sehingga
menjadi orang terbaik dalam semua itu. Karena keahliannya di bidang ilmu,
termasuk filsafat, ia tidak saja terkenal di dunia Islam tapi juga di dunia
intelektual barat dengan nama algazel.[4]
Setelah wafatnya sang guru, Imam
al Juwainy, beliau bertolak ke Irak dan mengajar di Baghdad selama 6 tahun.
Disamping mengajar, beliau juga sibuk dengan pemikiran dan menyusun buku-buku
dalam bidang fiqih dan ilmu kalam (theologi). Selain itu, beliau juga sibuk
menangkal golongan bathiniyah, isma’iliyah, dan para filosof. Kemudian beliau mendalami
golongan-golongan sehingga yakin pada ilmu kalam. Pada masa ini beliau menyusun
kitab maqashid al falasifah (tujuan-tujuan para filosof) dan tahafut
al falasifah (kerancuan para filosof) dan al mustadhzharin (orang-orang
yang berfaham dhzahiriyah). Pada tahun 488 H, imam al Ghazali
meninggalkan Baghdad menuju Syam (Damaskus) dan tinggal di sana beberapa tahun.
Di damaskus, imam Alghazali hidup dengan kehidupan tashawuf karena
beliau melihat bahwa para sufi adalah orang-orang yang berjalan menuju Allah
SWT secara khusus. Perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, cara mereka
adalah cara yang paling benar, dan akhlaq mereka adalah akhlaq yang paling
bersih. Kemudian beliau hidup dalam khalwat, uzlah, riyadlah (melatih
diri), dan mujahadah. Untuk hal ini beliau beri’tikaf di menara masjid
damaskus sepanjang hari.[5]
Pada tahun 488 H al Ghazali pergi
menuju tanah hijaz untuk melaksanakan kewajiban haji, kemudian ke Damaskus dan
ke Bait al Maqdis selama beberapa waktu. Pada masa rihlah inilah beliau
menyusun karya monumentalnya, ihya’ ulum al din, serta beberapa karangan
lainnya. Setelah beberapa lama pergi melanglang buana, kemudian beliau kembali
ke Naisabur dan kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah.[6]
Dalam al Iqtishad fi al I’tiqad disebutkan bahwa kembalinya beliau ke
Naisabur ini adalah atas perintah sulthan agar mengajar lagi.
Dua tahun kemudian beliau
meninggalkannya untuk kembali ke pusat kota Thus dan mendirikan madrasah untuk
para fuqaha di dekat kampung beliau sendiri. Di kota kelahirannya ini
beliau menghabiskan sisa umur beliau hingga wafat pada tahun 505 H dalam umur
sekitar 54 Tahun.[7]
2. Pergulatan Pemikirannya
Dalam kitab al Munqidz min al
dlalal, sebuah kitab yang ditulis al Ghazali pada akhir hayatnya, beliau
menyatakan bahwa sejak remaja sebelum umur 20 tahun, hingga saat menulis kitab al
Munqidz min al dlalal ini yakni umur 50 tahun, beliau telah mengalami
perjalanan pemikiran yang panjang.
Dimulai dari menceburkan diri ke
dalam lautan ilmu yang dalam, terjebak dalam setiap kegelapan, memecahkan
setiap musykilah (kesamaran), terjebak dalam setiap posisi yang sulit,
menyelidiki aqidah setiap golongan, dan terbukanya rahasia-rahasia setiap
madzhab dan sektarian, kemudian menjelaskan mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang ahli fitnah dan ahli bid’ah, meninggalkan bathiniyah
sampai suka keluar bersama bathinnya, meninggalkan dhzahiriyah
sampai ingin tahu hasil dari argumentasi dhzahiriyahnya, keluar dari
filsafat sampai berkehendak untuk berhenti dalam falsafahnya, mempelajari kalam
hingga berhujjah sampai ujung pembahasan kalam dan perdebatannya, serta
mengkaji tasawuf hingga mendapati rasa-rasa rahasia kelembutannya, lukisan dan
sifat-sifatnya, (seperti seorang imam) yang menjadikan keraguan menjadi jelas,
mengambil tasawuf untuk diri sendiri, bernaung pada kalam-nya al Asy’ary dan
Fiqh-nya Al Syafi’I, dan mengarang kitab-kitab diantara kalam-nya al Asy’ary
dan Fiqh-nya Al Syafi’I tersebut.[8]
Hingga akhir hayatnya, beliau
mewariskan banyak karya tulis yang membahas berbagai disiplin keilmuan.
Diantara karya-karya tersebut antara lain:[9]
a. Dalam bidang Fiqh madzhab Syafi’i:
al Wasith, al Basith, al Wajiz, dan al khulashah.
b. Dalam ilmu-ilmu lain:
- Ihya’ Ulum al din, al Arbain, al asma’ al
husna, al Mustashfa, dan al Mankhul (Ushul
fiqh)
- Bidayah al Hidayah dan al Ma’khad (ikhtilafat)
- Tahshin al Ma’khad, kimiya al sa’adah (dalam bahasa
Parsi)
- al Munqidz min al dlalal, Kasf ulum al
akhirah, al risalah al qudsiyah, al fatawa, mizan al ‘amal, Qawashim al
bathiniyah, al Mustadhhary, Haqiqah al ruh, Asrar mu’amalat al din, ‘Aqidah al
mishbah, al Manhaj al A’la, Akhlaq al anwar, al Mi’raj, Hujjah al Haqq, Tanbih
al Ghafilin, dan al Maknun (Ushul al din).
C. Situasi
Politik Di Masa Hidup Imam Al Ghazali
Sebagaimana telah dimaklumi oleh para ahli
sejarah, selama masa daulah Bani Abasiyah terjadi berkali-kali perubahan corak
kebudayaan islam sesuai dengan terjadinya perubahan dalam bidang politik,
ekonomi dan sosial. Berdasarkan perubahan demikian, para ahli budaya islam
membagi masa kebudayaan islam pada masa daulah bani abasiyah dalam empat masa
yaitu:[10]
a. Masa Abasiyah I, yaitu semenjak
lahirnya bani abasiyah pada tahun 132 H (750 M) sampai meninggalnya khalifah al
wasiq pada tahun 232 H (847 M)
b. Masa Abasiyah II, yaitu semenjak
khalifah al mutawakkil pada tahun 232 H (847 M) hingga berdirinya daulah buwaihiyah
di Baghdad pada tahun 334 H (946 M)
c. Masa Abasiyah III, yaitu semenjak
berdirinya daulah Buwaihiyah pada tahun 334 H (946 M) hingga masuknya kaum
Seljuk ke Baghdad pada tahun 447 H (1055 M)
d. Masa Abasiyah IV, yaitu semenjak
masuknya orang-orang seljuk ke Baghdad pada tahun 447 H (1055 M) hingga
jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar dibawah pimpinan Hulako pada tahun 656
H (1268 M)
Imam al Ghazali hidup pada masa
sengitnya pertikaian politik dan pemikiran yaitu pada paroh ke dua abad ke 5
hijriyah (abad ke 11 masehi), babak ke-3 dari dinasti Abasiyah.[11]
Suatu rentang masa dimana di dalam kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan
Dinasti Abasiyah yang berpusat di Baghdad terjadi perpecahan, lemahnya politik
dan militer, degradasi moral, kejumudan (kemandegan) dan khumul (senang menyendiri)
dalam pemikiran. Segala kekacauan tersebut terjadi karena beberapa hal, yang
antara lain:[12]
a. Gencarnya gerakan syiah
isma’iliyah dan dakwah fathimiyah
b. Kuatnya persenjataan yang dimiliki
keturunan turki yang sedang berkuasa di Baghdad. Mereka merebut kekuasaan di
irak sejak 3 tahun sebelum kelahiran imam alghazali.
c. Pendirian dinasti saljuk di tangan
Tughrul bek yang telah mengalahkan Baghdad. Nantinya, dinasti saljuk adalah
pemegang kekuasaan pada masa imam al ghazali.
d. Dengan kenyataan orang-orang
saljuk yang jauh dari agama dan ilmu-ilmu agama, maka mereka meminta bantuan
para ulama dan para fuqaha pun banyak yang mendekat kepada mereka. karena itu,
diadakanlah perlombaan untuk tercapainya hal tersebut. Sehingga muncul lah para
penipu dan pembuat sandiwara yang sombong, berhembus angin permusuhan, dendam,
dan kedengkian di dalam jiwa.
e. Munculnya husn al shabah,
pendiri jama’ah hasyyasyin (pengobar perang) yang menyatukan
perpecahan-perpecahan yang jauh dari islam.
f. Untuk menghadapi itu semua,
didirikanlah sekolah-sekolah nidhzamiyah oleh cucu laki-laki dari tughrul bek
(Elp arslan) untuk melindungi agama dan menjaga sunnah.
Pada tahun 447 H/1055 M (3 tahun sebelum al
Ghazali lahir) kekuasaan Buwaihi yang telah mendampingi para khalifah Abasiyah
di Baghdad selama 113 tahun telah berakhir. Berakhirnya kekuasaan Buwaihi ini
dengan tampilnya orang-orang Seljuk. Dinasti Buwaihi merupakan dinasti yang
didominasi orang-orang Persia dan berfaham syiah, sedangkan Dinasti Seljuk
merupakan dinasti yang didominasi oleh orang-orang Turki yang berfaham Sunni.[13]
Periode Buwaihi dimulai
pada tahun 320H/932 M sampai tahun 447 H/1055 M. masyarakat Buwaihi merupakan
suku Dailam yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan
sebelah selatan laut Kaspia. Setelah dinasti buwaihi berakhir, dinasti Seljuk
kemudian mengambil alih kekuasaan atas kekhalifahan di Baghdad.[14]
Bani Seljuk berasal dari
suku bangsa Ghuzz (Oghuz) di Turkistan dan bermigrasi ke barat di bawah Seljuk
Ibn Tuqaq. Dari namanya ini dinasti Seljuk diambil. Mereka berpindah lagi ke
barat dan berlindung kepada dinasti Saman. Di kawasan inilah mereka mengenal
kekuasaan dinasti Samani. Ketika dinasti Samani dikalahkan oleh dinasti
Ghaznawi, bani Seljuk di bawah pimpinan Tughrul bek kemudian memerdekakan diri
dan berdirilah dinasti Seljuk.
Ketika Kekhalifahan Abasiyah
di Baghdad sedang terganggu oleh perebutan kekuasaan amir umara antar keturunan
Bani Buwaihi sendiri, Khalifah meminta bantuan kepada Bani Seljuk yang telah
kuat kedudukannya untuk mengambil alih kekuasaan Bani Buwaihi di Baghdad.
Seljuk di Bawah Tughrul Bek memenuhi permintaan khalifah dan berhasil menguasai
Baghdad pada tahun 447 H/1055 M.[15]
Tughrul Bek menjadi terkenal
karena hubungannya dengan khalifah di Baghdad. Setelah melemahnya kekuatan Bani
Buwaih di Persia, pada 1055 (447 H) Tughrul memasuki Baghdad menyingkirkan
pengaruh Buwaih yang syi’ah dari istana khalifah. Tindakan Tughrul bek disambut
secara hangat oleh khalifah al Qaim yang menganugrahkan gelar sultan kepadanya.
Kekuasaan keluarga Seljuk pada masa Tughrul bek telah membentang dari
perbatasan Thian Shin di sebelah timur hingga perbatasan imperium Byzantium di
sebelah barat, dan meluas ke dalam wilayah iran selatan bekas wilayah kekuasaan
keluarga Buwaihi.
Mulk Tughrul bek sejak tahun
451 H/1059 M (1 tahun setelah Imam al Ghazali lahir) telah menetap di kota
Baghdad, memegang tampuk kekuasaan pada ibu kota kesultanan Seljuk di Asia
Tengah, ibu kota Naisapur. Ia pun mengangkat keponakannya, Alp Arselan untuk
berkedudukan di situ. Hal itu dikarenakan Mulk Tughrul bek tidak memiliki
keturunan.[16]
D. Resesi
Ekonomi Di Masa Hidup Imam Al Ghazali
Kerusuhan yang berlangsung selama belasan
tahun lamanya telah menyebabkan keamanan di ibu kota Baghdad dan sekitarnya
amat kacau. Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kekacauan ini ternyata luar
biasa. Joesoef Sou’yb dalam buku Sejarah Daulat Abbasiah III menggambarkan
kekacauan ekonomi pada masa ini dalam poin-poin berikut:[17]
1. Pertanian terbengkalai karena kaum
tani merasa tidak aman dengan adanya pemerasan dan perampokan
2. Barang kebutuhan hidup amat kurang
dan harga-harga melambung tinggi hingga tak terjangkau oleh masyarakat.
3. Pengangguran, gelandangan, dan
kaum peminta-minta memenuhi ibu kota.
4. Pencurian, perampokan, dan
penyamunan menjadi peristiwa yang lumrah terjadi sehari-hari di tengah
masyarakat.
5. Karena teluk parsi tidak aman,
maka kapal-kapal dagang dari pesisir india, asia tenggara dan Tiongkok, yang
biasanya ramai memasuki teluk parsi dan membongkar muatan di Bandar Bashrah
maupun kufah kemudian mengalihkan pelayarannya ke teluk Aden, melewati laut
merah, melalui kanal Amirul Mukminin, dan membongkar muatannya di Bandar al
Qahirah. Dampaknya, pemerintahan daulah Fathimiyah di Mesir menjadi bertambah
makmur. Dengan melihat situasi yang demikian kacau, Emir/Mulk Tughrul Bek
kemudian mengadakan pembasmian terhadap segala macam pemerasan dan pemulihan
keamanan dengan dukungan pasukannya yang setia.
E. Beberapa
Pemikiran Imam al Ghazali Dalam Mengatasi permasalahan-permasalahan Ekonomi
Al Ghazali dikenal sebagai sarjana muslim
yang sangat produktif dan banyak berbicara dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Ia dikenal sebagai seorang teolog besar, filsuf, sufi, faqih, dan
ushuli (ahli ushul fiqh).[18] Lain dari itu, sebagaimana para
cendekiawan muslim sebelumnya, perhatian al Ghazali terhadap kehidupan
masyarakat ternyata tidak hanya terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah
masalah kehidupan ekonomi masyarakat.[19]
Adiwarman dalam sejarah pemikiran ekonomi
islam menyebut beberapa pemikiran ekonomi dalam beberapa karya al Ghazali,
antara lain:[20]
1. Pertukaran sukarela dan evolusi
pasar
Al Ghazali mengemukakan
signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan secara sukarela, serta proses
timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan pemasaran untuk
menentukan harga dan laba. Menurut al Ghazali, evolusi pasar adalah merupakan
hukum alam. Pasar berevolusi sebagai sebuah ekspresi berbagai hasrat yang
timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Mutualitas
pertukaran ekonomi mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah
dan sumber daya. Lebih dari itu, menurutnya perdagangan merupakan hal yang
esensial bagi berfungsinya sebuah perekonomian yang berkembang dengan baik.
Untuk menjamin kelancaran
aktivitas perdagangan ini, al Ghazali menekankan pentingnya peran Negara dalam
melindungi dan menjamin keamanan pada rute-rute perdagangan.
2. Aktivitas produksi
Al Ghazali memfokuskan pembahasan
tentang aktivitas produksi ini dalam tiga hal pokok yakni:
a. Produksi barang-barang kebutuhan
dasar sebagai kewajiban sosial.
Dalam hal ini al Ghazali menekankan pentingnya
memproduksi barang-barang kebutuhan sosial. Dalam bahasa fikihnya adalah fardlu
kifayah. Jika ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang
memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang telah mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban seluruh masyarakat telah gugur.
b. Hirarki produksi.
Yaitu klasifikasi produksi yang terdiri dari produksi
kebutuhan barang primer (agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier
(jasa).
c. Tahapan produksi, spesialisasi,
dan keterkaitannya.
Menurut al Ghazali, dalam mata rantai produksi terdapat
saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu aktivitas produksi dan
aktivitas produksi lainnya. Tahapan dan ketergantungan produksi mensyaratkan
adanya pembagian kerja dan kerja sama. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
dalam produksi roti. Dimulai dari petani yang menanam gandum, pengolah hasil
gandum menjadi tepung, pembuat bumbu roti, pembuat mesin oven, dan kemudian
produsen roti. Di sini ada tahapan produksi, spesialisasi pekerjaan, dan saling
keterkaitan antar aktivitas produksi.
3. Barter dan Evolusi Uang
Dalam hal ini al Ghazali
mengemukakan teori evolusi uang dan fungsinya. Ia menjelaskan bagaimana uang
mengatasi permasalahn yang timbul dari suatu pertukaran barter. Ia juga
membahas mengenai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai uang.
4. Peranan Negara dan keuangan publik
Bagi al Ghazali, Negara dan agama
merupakan tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang
teratur. Agama adalah fondasi, dan penguasa yang mewakili Negara adalah
penyebar dan pelindungnya. Bila salah astu dari tiang ini lemah, maka
masyarakat akan ambruk. Tugas Negara yang paling pokok adalah berjuang untuk
kebaikan masyarakat melalui kerja sama dan rekonsoliasi.
Terkait dengan keuangan
publik, al Ghazali mengemukakan
pembahasannya dari dua sisi yaitu: Dari sisi pendapatan dan pengeluaran.
Sumber-sumber pendapatan Negara yang halal antara lain harta warisan yang tidak
ada ahli warisnya, sumbangan sedekah, dan wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Selain itu adalah retribusi-retribusi yang dibebankan kepada umat islam serta
pajak-pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa ghanimah, fa’i, jizyah,
dan amwal al mashalih.
Adapun dari sisi pengeluaran, al
Ghazali menyarankan agar dalam pemanfaatan anggaran Negara bersifat fleksibel
yang berdasarkan asas kesejahteraan. Ia mengusulkan, jika pengeluaran publik
dapat memberikan manfaat yang lebih besar, penguasa boleh memungut pajak baru.
Namun, dalam penarikan pajak Negara juga harus mempertimbangkan kemampuan bayar
warga, tidak mentolerir pemerasan oleh pejabat, memberikan timbale balik berupa
jaminan keamanan bagi warga, dan sebaiknya warga pembayar pajak juga mengetahui
pemanfaatan sumber daya mereka.
Selain
beberapa pokok pemikiran ekonomi sang Hujjah al Islam yang telah digali
oleh Adiwarman Azwar Karim dari berbagai sumber, yang kesemuanya telah
dibukukan dalam buku Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam-nya, penulis mengajukan tiga hal yang (menurut penulis)
merupakan kontribusi penting Imam al Ghazali dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat pada masa itu yaitu:
1.
Stabilitas
keamanan Negara
Imam
al Ghazali menekankan pentingnya stabilitas keamanan untuk menjaga kelancaran
dan keberlangsungan aktivititas ekonomi. Hal ini tersirat dari nasihat beliau
kepada penguasa untuk berlaku adil dalam memutuskan kebijakan dan menahan untuk
tidak berlaku dzalim. [21] Selain itu, pemimpin juga tidak boleh meletakkan tangan (berdiam
diri) terhadap orang-orang yang berlaku dzalim.[22] Hal ini (barangkali) didasari oleh kegelisahan beliau melihat
merajalelanya kedzaliman yang berupa pencurian, perampokan, dal lain sebagainya
di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Di sini Imam al Ghazali menghendaki
agar pemegang kekuasaan menindak tegas oknum-oknum yang berbuat dzalim di
tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana kita baca dalam sejarah, bahwa
situasi keamanan nasional pada masa kehidupan Imam al Ghazali sangat kacau.
Perampokan dan pencurian merajalela, masyarakat merasa tidak nyaman untuk
melakukan aktivitas ekonomi, hingga yang paling merugikan adalah berpalingnya
para pedagang dari manca Negara untuk berniaga dengan penduduk negri dan
mengalihkan rute pelayarannya menuju mesir. Hal ini menyebabkan Negara rugi dua
kali yaitu meruginya perekonomian dalam negri dan meningkatnya kemakmuran
negri-negri musuh di daratan benua afrika, terutama dinasti Fathimiyah.
2.
Stabilitas
Politik
Imam
al Ghazali sepertinya mengatahui betul pentingnya stabilitas politik untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan terciptanya stabilitas politik maka
masyarakat akan merasa tenang untuk menjalankan aktivitas-aktivitas ekonomi
mereka. Hal yang ditekankan oleh Imam al Ghazali adalah dengan meminimalisir
segala bentuk gejolak-gejolak muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal
ini, Imam al Ghazali mengajukan pentingnya para pemimpin untuk menciptakan
keadilan di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, ketika para pemimpin bisa
berbuat adil dan menjaga keadilan di tengah-tengah masyarakat, maka posisi
penguasa akan mendapatkan sokongan yang kuat dari rakyat. Ketika posisi penguasa
kuat maka akan mudah untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan baik.
Untuk
menyamapaikan pemikirannya itu, Imam al Ghazali menyusun satu risalah yang
diberinya judul Al Tibr al masbuk fi nashihah al muluk. Dengan
memanfaatkan ke-ulama-an beliau yang telah diakui secara luas oleh masyarakat
(terlihat dari posisinya sebagai direktur perguruan Nidzamiyah), Imam al
Ghazali mencoba untuk memulainya dengan memberikan nasihat-nasihat kepada para
penguasa.
Sesuai
judulnya, risalah ini ditujukan sebagai nasihat bagi penguasa. Dalam risalah
ini, salah satu hal yang ditekankan Imam al Ghazali adalah bagaimana berlaku
adil bagi penguasa dan menjaga keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Al
Tibr al masbuk fi nashihah al muluk ini Imam al Ghazali menjelaskan dengan
cukup luas mengenai pentingnya berlaku adil, tata cara untuk dapat berlaku
adil, serta banyak kisah-kisah tentang berlaku adilnya para sahabat, thabi’in
dan para ulama.
3.
Pencegahan
liberalisasi ekonomi
Pada
penjelasan-penjelasan sebelumnya, terlihat dengan (cukup) jelas dukungan Imam
al ghazali untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat yakni dengan mengemukakan
pemikiran beliau tentang pentingnya stabilitas keamanan negara dan stabilitas
politik. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat dapat melakukan
aktivitas-aktivitas ekonomi dengan bebas. Namun demikian, di lain sisi beliau
juga membatasi aktivitas-aktivitas ekonomi masyarakat agar tidak mengarah
kepada ekonomi liberal. Menurut Imam al Ghazali, kebebasan beraktivitas ekonomi
tidak boleh keluar dari batasan-batasan agama.
Menurut
Imam al Ghazali seluruh aktivitas manusia hendaknya didasarkan pada konsep mashlahah.
Mashlahah yang dimaksud Imam al Ghazali di sini adalah menjamin tujuan hukum,
yakni yang terdiri dari lima hal: Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Semua hal yang menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal (al
ushul al khamsah) ini adalah mashlahah. Sebaliknya, semua yang
menelantarkannya adalah mafsadah. Dan upaya menghilangkan mafsadah
adalah mashlahah.[23]
Lebih
lanjut, al Imam al Ghazali betapapun beliau setuju untuk menggunakan mashlahah
sebagai salah satu sumber hukum fiqih, dalam penerapannya harus memenuhi tiga
syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah, yaitu mendesak, tidak terelakkan,
pasti, dan menyangkut kepentingan yang luas, bukan kepentingan individual.[24]
Artinya,
ketika ada praktik muamalah yang “terlihat” seakan mengandung mashlahah
(nilai kebaikan) namun tidak sesuai dengan al Qur’an sebagai sumber utama hukum
islam, tidak sesuai juga dengan Sunnah Nabi, bahkan tidak sesuai juga dengan
ijma’ shahabat, maka praktik muamalah tersebut harus memenuhi tiga syarat (daruriyah,
qath’iyah, kulliyah) agar tetap bisa dipraktekkan di tengah masyarakat.
Apabila mashlahah tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut maka tidak
bisa dibenarkan.
F. Kesimpulan
Setelah mengkaji beberapa karya
imam al Ghazali terutama ihya’ ulum al din dan al tibr al masbuk fi
nashihah al muluk, serta menghubungkannya dengan situasi ekonomi dan
politik pada masa kehidupan sang Hujjah al Islam, ternyata
memperlihatkan bahwa sang Hujjah al Islam adalah seorang ulama yang
sangat peduli terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, termasuk permasalahan-permasalahan dalam kegiatan ekonomi
masyarakat.
Dengan dua karya tulis tersebut,
terbukti Hujjah al Islam telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat dan meningkatkan kekuatan dinasti Seljuk pada akhir-akhir masa
kehidupan sang Hujjah al Islam. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy, Sejarah kebudayaan islam. Cet.II.
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al Ghazali, Hujjah al Islam Abu
Hamid. al Tibr al Masbuk fi nashihah al muluk. Cet. I, Beirut: Dar al
kutub al Ilmiyah, 1988.
Al
Ghazali, Hujjah al Islam al Imam Muhammad Abu Hamid. al Iqtishad fi al
I’tiqad. Cet.I. Damaskus: Dar qutaiba, 2003.
Al
Ghazali, Imam Abu Hamid. Ihya’ Ulum al din. Cet. I, Juz. I. Mesir:
Maktabah al Syuruq al Daulah, 2010.
Karim,Adiwarman Azwar. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Kurdi,
dkk. Hermeneutika al Qur’an dan Hadis. Cet.I. Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010.
Mufradi,
Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet.I. Jakarta: Logos, 1997.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet.II.
Jakarta: UI Press, 1990.
Saleh,
Abdul Mun’im. Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah. Yogyakarta:
Ittiqa Press, 2001.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah
III . Cet.I. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
[1] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press, 1990), Cet. II, hlm. 70.
[2] Kurdi, dkk.,
Hermeneutika al Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: eLsaq Press, 2010), Cet. I, hlm.
5.
[3] Ibid,
hlm. 6.
[4] Ibid,
hlm. 7.
[5] Hujjah al
Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I’tiqad (Damaskus:
Dar qutaiba, 2003), Cet. I, hlm. 8.
[6] Kurdi, dkk,
Hermeneutika al Qur’an dan Hadis..., hlm. 7.
[7] Hujjah al
Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I’tiqad…,
hlm. 9.
[8] Ibid,
hlm. 9-11.
[9] Imam Abu Hamid
al Ghazali, Ihya’ Ulum al din (Mesir: Maktabah al Syuruq al Daulah, 2010), Cet. I, Juz. I, hlm. 6.
[10] A. Hasjmy, Sejarah
kebudayaan islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. II, hlm. 243.
[11] Hujjah al
Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al I’tiqad…,
hlm. 7.
[13] A. Hasjmy, Sejarah
Kebudayaan Islam …, hlm. 7.
[14] Ali Mufradi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), Cet. I, hlm. 123.
[15] Ibid,
hlm. 124.
[16] A. Hasjmy,
Sejarah Kebudayaan Islam…, hlm. 8.
[17] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiah III (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. I, hlm. 8-9.
[18] Kurdi, dkk,
Hermeneutika al Qur’an dan Hadis..., hlm. 8.
[19] Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. I, hlm. 281-282.
[20] Ibid,
hlm. 287-315.
[21] Hujjah al
Islam Abu Hamid al Ghazali, al Tibr al Masbuk fi nashihah al muluk (Beirut:
Dar al kutub al Ilmiyah, 1988), cet. I, hlm. 7.
[22] Ibid,
hlm. 14.
[23] Abdul Mun’im
Saleh, Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah (Yogyakarta: Ittiqa
Press, 2001), hlm. 77.
[24] Ibid,
hlm. 102-103
Comments
Post a Comment