Hadits Ahkam: Hadits Tentang akad (transaksi muamalah)

HADIST TENTANG AKAD (PERJANJIAN)


A.  Hadist tentang Akad
Hadist yang menerangkan tentang Akad sebagai berikut :
الحديث الأول
2111  -حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)[3]
Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:“Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar” (HR Bukhori dan Muslim).
JALUR SANAD KE – 1
Urutan Sanad
"Nafi', maula Ibnu 'Umar
Urutan Sanad
Urutan Sanad
  1. Nama Lengkap : Abdullah bin Yusuf
  2. Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
  3. Kuniyah : Abu Muhammad
  4. Negeri semasa hidup : Maru
  5. Wafat : 218 H
chart_1
chart_2
chart_3
chart_4
chart_5
chart_6
chart_7
chart_8
chart_9
355
0
3
1
13
0
0
0
0
chart_1
chart_4
chart_7
chart_2
chart_5
chart_8
chart_3
chart_6
chart_9
الحديث الثاني
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
(BUKHARI - 1970) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda: "Jika dua orang melakukan jual beli maka masing-masingnya punya hak khiyar (pilihan) atas jual belinya selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya sepakat atau salah satu dari keduanya memilih lalu dilakukan transaksi maka berarti jual beli telah terjadi dengan sah, dan seandainya keduanya berpisah setelah transaksi sedangkan salah seorang dari keduanya tidak membatalkan transaksi maka jual beli sudah sah".
JALUR SANAD KE - 1
Urutan Sanad
"Nafi', maula Ibnu 'Umar
Urutan Sanad
Urutan Sanad

  1. Nama Lengkap : Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin Tharif bin 'Abdullah
  2. Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
  3. Kuniyah : Abu Raja'
  4. Negeri semasa hidup : Himsh
  5. Wafat : 240 H
chart_1
chart_2
chart_3
chart_4
chart_5
chart_6
chart_7
chart_8
chart_9
324
666
191
601
682
4
212
0
0
chart_1
chart_4
chart_7
chart_2
chart_5
chart_8
chart_3
chart_6
chart_9



الحديث الثالث
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ كِلَاهُمَا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَمْلَى عَلَىَّ نَافِعٌ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَبَايَعَ الْمُتَبَايِعَانِ بِالْبَيْعِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مِنْ بَيْعِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَكُونُ بَيْعُهُمَا عَنْ خِيَارٍ فَإِذَا كَانَ بَيْعُهُمَا عَنْ خِيَارٍ فَقَدْ وَجَبَ
زَادَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ فِي رِوَايَتِهِ قَالَ نَافِعٌ فَكَانَ إِذَا بَايَعَ رَجُلًا فَأَرَادَ أَنْ لَا يُقِيلَهُ قَامَ فَمَشَى هُنَيَّةً ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ

(MUSLIM - 2823) : Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu Abi Umar keduanya dari Sufyan. Zuhair berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Ibnu Juraij dia berkata; Nafi' mendikteku, dia mendengar Abdullah bin Umar berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika dua orang telah melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya boleh melakukan khiyar selagi belum berpisah, atau keduanya boleh melakukan khiyar (dari awal), jika keduanya telah menyepakati khiyar tersebut, maka jual beli telah sah." Ibnu Abu Umar menambahkan dalam riwayatnya; Nafi' mengatakan; "Apabila Ibnu Umar bertransaksi dengan seseorang, kemudian dia tidak mau membatalkan transaksinya, maka berdiri dan berjalan pelan-pelan lalu kembali kepadanya."

JALUR SANAD KE - 1
Urutan Sanad
"Nafi', maula Ibnu 'Umar
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
  1. Nama Lengkap : Zuhair bin Harb bin Syaddad
  2. Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
  3. Kuniyah : Abu Khaitsamah
  4. Negeri semasa hidup : Baghdad
  5. Wafat : 234 H
chart_1
chart_2
chart_3
chart_4
chart_5
chart_6
chart_7
chart_8
chart_9
12
749
43
0
1
2
35
0
1
chart_1
chart_4
chart_7
chart_2
chart_5
chart_8
chart_3
chart_6
chart_9

Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah janji,perjanjian, kontrak.[4] Akad secara bahasa adalah ikatan,mengikat. Dikatakan ikatan (alrabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali  dan mengikatkan salah satunya  pada yang lainnya  hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. [5]  Sebagaimana  pengertian akad adalah perjanjian, istilah yang berhubungan dengan perjanjian  di dalam Al Qur’an  setidaknya ada 2 istilah yaitu  al ‘aqdu(akad) dan  al ‘ahdu  (janji).[6] Istilah al ‘ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 , bahwa dalam ayat ini ada kata  bil’uqud dimana terbentuk dari  hurf jar ba dan kata  al ‘uqud atau bentuk jamak taksir dari kataal‘aqdu oleh team penerjemah  Departemen Agama RI di artikan perjanjian (akad).[7]
Sedangkan kata al ‘ahdu  terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 76 , bahwa dalam ayat ini  ada kata bi’ahdihidimana terbentuk dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan hi yakni dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al ‘ahdi oleh Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji.[8] Menurut Fathurrahman Djamil, istilah  al ‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.[9] Sedangkan istilah al ‘ahdu  bisa disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[10]
Kesepakatan Ahli Hukum Islam (Jumhur Ulama) mendefinisikan akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang di benarkan syar’I yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.[11] Menurut Abdurrauf, al ‘aqdu (Perikatan Islam) bisa terjadi dengan melalui  tiga tahap, yaitu :
1.    Tahap PertamaAl’ahdu (perjanjian)yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak   untuk melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya  dengan kemauan orang lain.Syarat sahnya suatu al‘ahdu(perjanjian)  adalah :
1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang di sepakati adanya.
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah , maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Dasar Hukum tentang kebatalan suatu perjanjian  yang melawan hukum ini dapat di rujuki ketentuan hukum  yang terdapat dalam hadist Rosululloh SAW hadist dari Jabir bin Abdullah Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي الْمُكَاتَبِ شُرُوطُهُمْ بَيْنَهُمْ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ ، أَوْ عُمَرُ كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ كِتَابَ اللهِ فَهْوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِئَةَ شَرْطٍ.[12]
“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori )”
2.    Harus sama ridho dan ada pilihan
Maksudnya akad yang di adakan oleh para pihak haruslah di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya akad yang  diadakan tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.

3. Harus Jelas dan Gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi akad, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya  kesalah pahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.[13]
2.Tahap Kedua : Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.Tahap Ketiga : Al ‘aqdu (akad/perikatan Islam) yaitu pelaksanaan dua buah janji tersebut.[14]
Terjadinya suatu perikatan Islam (al‘aqdu) ini tidak terlalu jauh berbeda dengan terjadinya perikatan yang di  dasarkan dengan Buku III KUH Perdata, Yang mana definisi Hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[15]
Sedangkan Pengertian Perjanjian adalah  suatu persetujuan  adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[16] Perbedaan antara perikatan Islam (Akad) dengan Perikatan KUH Perdata adalah dalam tahapan perjanjiannya dimana  dalam hukum Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUH Perdata hanya satu tahap  setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.
Perbedaan antara perikatan Islam (Akad) dengan Perikatan KUH Perdata adalah dalam tahapan perjanjiannya dimana  dalam hukum Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap  setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.
B.Unsur-Unsur Akad
Definisi    Akad menurut jumhur ulama bahwa akad  adalah suatu perikatan antara  ijab dan  qobul dengan cara yang di benarkan syar’i yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum  pada obyeknya dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut :
1.     Pertalian Ijab dan Qobul
1.Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak  (mujib) untuk melakukan sesuatu  atau tidak melakukan sesuatu.
2.Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qobil). Ijab dan  Qobul  ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (akad)
  1. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad tidak boleh bertentangan dengan syari’ah. Jika bertentangan,akan  mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh suatu perikatan(akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang  tidak halal (seperti minuman keras ) mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut Hukum Islam.
  1. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya.
Akad merupakan  salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad menimbulkan  akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi  hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.[17]

C.Syarat –Syarat Akad
Definisi syarat adalah ketentuan (peraturan,petunjuk) yang harus di indahkan dan dilakukan.[18] Dalam syari’ah Islam syarat di definisikan adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[19]
Adapun  syarat akad ada yang menyangkut  rukun akad, ada yang menyangkut obyek akad, dan ada yang menyangkut subyek akad.[20] Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan adanya empat komponen yang harus di penuhi (syarat), yaitu :
1.              Dua aqid yang di namakan  Tharafyil  aqdi atau  aqidain sebagai subyek perikatan/para pihak (the contracting parties).
2.              Mahallul aqdi (ma’qud alaih) , yaitu sesuatu yang di akadkan sebagai obyek perikatan  ( the object matter ).
3.              Maudhu’ al-Aqdi (ghayatul akad) yaitu cara maksud yang dituju sebagai prestasi yang dilakukan (the subject matter)
4.              Shighat al-aqd sebagai rukun akad (a formation).[21]

  1. Subyek Akad ( Al ‘Aqidain)
Subyek Akad (aqid) dalam  Hukum  Perikatan Islam adalah sama dengan subyek hukum pada umumnya yaitu pribadi-pribadi yang padanya terdapat ketentuan berupa : pembebanan kewajiban dan perolehan hak.[22]Subyek Hukum ini terdiri dari dua macam  yaitu manusia dan badan hukum kaitannya dengan ketentuan dalam hukum  Islam.[23]
Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. .Dalam Hukum Islam,kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan – tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity).Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang  ke dalam 4 ( empat ) tahap Subjek Hukum          (Stages of Legal Capacity ).[24]Adapun ke-empat tahap itu adalah : Marhalah al-Janin, Marhalah al-Saba, Marhalah al-Tamyiz, danMarhalah al-Bulugh.dan juga Daur al- Rushd.
Di antara fuqaha (ahli hukum Islam) telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai  aqid yaitu : Aqil, Tamyiz, dan Muhktar.
  1. Obyek Akad (Mahallul ‘Aqdi)
Mahalllul ‘aqdi adalah benda yang berlaku padanya  hukum akad, atau disebut juga sebagian sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah  Hukum Perdata. Misalnya benda-benda yang dijual dalam akad jual beli (al buyu’/bai) atau hutang yang dijamin seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda-benda yang halal dan bersih (dari najis dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih jual beli  buku – buku ilmu sihir, anjing , babi dan macan bahkan alat-alat musik (alat malahy) adalah tidak sah. Adapun syarat – syarat objek akad, yaitu : Halal menurut Syara’, Bermanfaat ( bukan merusak atau digunakan untuk merusak), dimiliki sendiri atau atas kuasa si pemilik, Dapat diserah terimakan (berada dalam kekuasaan), dan Dengan harga jelas.[25]
  1. Prestasi  Akad (Maudhu’u al-‘Aqdi)
Maudhu’u al- Aqdi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hukum perikatan disebut  Prestasi  . Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya,seperti: tujuan dalam jual beli ( buyu’/bai’) ialah menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran  (iwadh), dalam hibah ialah menyerahkan barang kepada penerima hibah (Mauhub) tanpa ganti ( iwadh ) dan pada akad sewa ( Ijarah ) ialah memberikan manfaat dengan ganti (iwadh).
Dalam KUHPerdata hal ini merupakan  suatu prestasi (hal yang dapat dituntut oleh satu pihak kepada pihak lainnya ),yang dirumuskan dengan menyerahkan barang,melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Syarat-syarat dari tujuan akad atau prestasi,yaitu: Baru ada pada saat dilaksanakan akad, Berlangsung adanya hingga berakhirnya akad, dan Tujuan akad harus dibenarkan syara.
D.Rukun Akad
Rukun akad adalah  Ijab dan  Qobul ( serah terima).Ijab dan Qobul dinamakan  shihgatul ‘aqdi atau perkataan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Shighatul aqdi ini memerlukan empat syarat : Jala’ul Ma’na, Tawafuq, Jazmul Iradataini, dan Ittishal al-kabul bil-ijab.

E.Jenis-Jenis Akad
Dalam Kitab-Kitab  Fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi penggolongannya. Namun yang berkaitan dengan kegiatan  perbankan dan perasuransian syariah, menurut Gemala Dewi secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad  yaitu : Pertukaran, Titipan, Syarikat, Memberi kepercayaan, Memberi Izin atau Tugas Kerja, Penyelesaian Sengketa, dan Perlidungan atas Hak.

F.Bentuk-Bentuk Akad
Mengenai bentuk-bentuk akad yang dikenal sejak awal penerapan Hukum Islam di zaman Nabi Muhammad, para ahli hukum  Islam telah  menuangkannya ke dalam kitab-kitab fiqh. Tidak terdapat kesamaan dalam  pengelompokannya dari para ahli hukum  Islam tersebut dalam  mengklarifikasi bentuk-bentuk akad ke dalam suatu kelompok. Masing-masing literatur menggunakan kriteria tersendiri dalam menggolongkan berbagai macam bentuk akad tersebut ke dalam satu  kelompok tertentu.
Jumlah  bentuk perikatan (akad) pada masing-masing literaturpun berbeda-beda, dalam rentang antara 12 sampai 38 macam. Abdurrahman Raden Aji haqqi, menggelompokkan ke 38 bentuk akad. Dari ke 38 bentuk akad tersebut dapat kita kelompokkan seperti pada penjelasan sub  bab jenis-jenis akad di atas tadi. Mengenai masing-masing bentuk akad yang di kenal dalam kita-kitab fiqh tersebut dapat dilihat penjabarannya di bawah ini.
Bentuk-Bentuk Akad Yang di kenal dalam Fiqh yaitu : Jual Beli, Mudharabah, Al-Ijarah, Syirkah, Hiwalah, Asy-Syuf’ah, Rahn atau gadai, ‘Ariyah, Ji’alah, Shulhu, Luqathah, Hibah, Sedekah (Shadaqah) dan Hadiah.
Ketika kita baca dalam keterangan di atas ternyata banyak sekali dalam akad Mualah, dalam Islam yang sesuai dengan Syara’. Maka Di dalam Hadist di atas penulis jelaskan bahwa hadist diatas sebagai dasar paraFuqoha yang menyaratkan Khiyar majelis yang dijadikan dasar dalam berhujjah, ini masalah perselisihan pendapat tentang waktu terjadinya ikatan Jual Beli.
Menurut Maliki, Abu Hanifah, dan para pengikut keduannya serta golongan Fuqoha Madinah, ikatan jual beli terjadi dalam Majelis walaupun kedua belah pihak belum terpisah. Sedang Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat mengatakan bahwa jual beli terjadi (sudah mengikat) dengan terjadinya pepisahan dari majelis jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan tidak mengikat.[26]
Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ibu Abi Dzi’b dari golongan Fuqoha Madinah, Suwar al-Qadhi, Ibnu Mubarok, Syuraih al-Qadhi, segolongan tabiiin, dan lainnya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Umar R.A dan Abu Barzah al-Aslami r.a dari kalangan sehabat tanpa ada sahabat yang menentangnya.
Dalam Hadist di atas juga ada hadits yang lain yaitu :
Kecuali salah seorang di antara keduanya berkata kepada temannya, pilihlah”.
Fuqoha yang berbeda pendapat, mengemukakan alasan pendapat yang kacau dalam menolak pengunaan hadist di atas. Dalam menolak hadist tersebut imam Malik berdasar pada alasan, bahwa ia tidak menemukan penduduk madinah melakukan Khiyar Majelis. Dan juga beliau berpendapat bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Hadist Munqoti’ yang diriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud ia berkata :
أيما بيعين تبايعا فالقول ما قال البائع أو يترادان[27]( أخرجه الدالمى)
“Siapa saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan”(HR. Dailami)
Dari sini bisa dipahami bahwa seolah-olah malik mengartikan hadist tersebut kepada umumnya dan ini mengharuskan adanya jual beli pada majelis atau sesudahnya. Hadist ini muqothi’ dan tidak bisa menentang hadist pertama. Apabila pertentangan tersebut hanya berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada hadist munqothi’ tersebut. Yang lebih baik adalah jika hadist terakhir munqothi’ ini ditegaskan atas hadist pertama. Sepengetahuan saya hadist terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh seseorang dengan musnad (yakni disandarkan kepada Nabi saw.). begitulah pegangan Malik dalam meninggalkan Hadist tersebut.
Dalam menolak hadist Khiyar ini, para pengikut Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil sam’iyat dan qiyas. Dan diantara dalail lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah firman Allah Surat Al-Maidah ayat petama.
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)[المائدة : 1]
G.      Kasus Akad Bisnis Onlene
Dalam hal ini bahwa ketika saya melihat beberapa uraian di atas penulis menangapi kasus akad Bisni Onlene ini,sangatlah perlu diketahui dulu bagaimana cara yang telah dilakukan dalam Akad ini. Kalau Akad ini tidak bertentanganan dengan Syara’ maka ya Boleh saja, yang penting sesuai dengan syara’ dalam jual belia atau akad tersebut.



PENUTUP
1.        KESIMPULAN
Tidak bertolak dari perumusan masalah dan uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut :
1.     Prinsip  musyarakah sangat baik untuk dikembangakan dan juga diamalkan.
2.     Prinsip musyarakah merupakah salah satu muamalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip islam.

2.        SARAN
Menilik pada simpulan seperti sijelaskan di atas, maka dalam penelitian tesis ini disarankan, sebagai berikut:
1.     Prinsip musyarakah merupakan pembiayaan terbaik dalam
bank syariah,adalah sebagai medote pembiayaan yang didasarkan pada keikutsertaan bank bersama-sama dengan nasabah untuk suatu proyek tertentu dalam menghasilkan laba atau rugi. Oleh karena itu disarankan kepada Bank Syariah pada umumnya, kiranya pembiayaan dengan prinsip musyarakah dapat terus ditingkatkan penggunaanya oleh  masyarakat seperti pembiayaan-pembiayaan yang lainnya, yaitu: qardh, murabahah, dan mudharabah.

2.Perlu di lakukan   sosialisasi kepada masyarakat atas keberadaan BankSyariah umumnya  yang  mengimplementasikan  produk pembiayaan  dengan prinsip musyarakah yang didukung oleh  sumber daya manusia (SDM) yang profisional.

3.Pengambilan langkah-langkah sebagai solusi dalam Mengembangkan penggunaan produk pembiayaan dengan prinsip 
 musyarakah, disarankan perlu terus dilakukan,tetapi hendaknya 
 berdasarkan ketentuan syariah.


[1] Arifin Hamid. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. hlm: 66-67
[2] http://konsultasimuamalat.MI Sigit Pramono.wordpress.com.20 Maret 2009
[3] ٍShohih Al Bukhori, (Program Maktabah As Samilah Edisi II) Jilid 3, hlm. 84, lihat juga dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Jilid 2 Hlm. 798
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Pertama Edisi III, 2001), hal 18
[5] Ghufron A.Mas’adi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, 2002), hal 75
[6] Gemala Dewi,Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, Edisi pertama,Cetakan Pertama,2005) hal 45
[7] Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh alIndonesiyyah,
(Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’  al Malik Fahd li thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H ) ,hlm 156
[8] Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh alIndonesiyyah, (Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’   al Malik Fahd li thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H ) ,hlm.88.
[9] Fathurrahman Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm 75
[10] Fathurrahman Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm. 248
[11] Ahmad Azhar Basyir, Asas-AsasHukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII
Press, Edisi Revisi, 2000),hlm. 65
[12] Hasabu Tarqimul Fathul Al Barrii, Shohih Bukhori. (Program Maktabah As-Samilah fersi II) Jilid 3 hlm. 259
[13] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,Cetakan Ketiga, 2004), hal 2-3
[14] Abdoerraoef, Al Qur’an dan Ilmu Hukum : Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang,1970),hlm. 122-123
[15] Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan(Hukum yang lahir dari Perjanjian dan dari
Undang-Undang, (Bandung : Mandar Maju, Cetakan Pertama, 1994), hlm. 2
[16] Purwahid Patrik, …………………………… hlm. 45.
[17] Ghufron A.Mas’adi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, 2002) hal 76-77
[18] Departemen Pendidikan Nasional, ………………………… ., hlm 1114
[19] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,Jilid 5, ( Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve,1996), hlm. 1510
[20] Ahmad Azhar Basyir, ……………………………..  ,hlm 77-78
[21] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fikih Muamalah, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.
23
[22] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Perasuransian Syariah di Indonesia,
(Jakarta :Prenada Media :2004), hlm 15.
[23] Gemala Dewi, Widyaningsih, Yeni Salma Barlinti, …………………………………..  , hlm 51
[24] AdeArmando,dkk, Ensklopedi Islam untuk Pelajar, ( Jakarta :PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tanpa tahun), hlm 77
[25] Gemala Dewi, ……………………………………………………………………… ,hlm.17
[26] Oleh karena itu Ibu Umar r.a jika punya keinginan memutuskan transaksi jual beli, setelah ijab dan qobul, ia segera keluar majelis agar transaksi memenuhi syarat.
[27] Al Maudho’ Riwayat Yahya Al Laisii, (Program Maktabah As Samilah Versi II) Jilid 2, hlm. 671

Comments

Popular posts from this blog

متن نظم هداية الصبيان في تجويد قراءة القرآن

Ijazah Wirid dari Syaikh Muhammad Abd Rabb al Nadhzari